Sendiri adalah saat-saat yang paling kunikmati. Aku nyaman sekali ketika sendiri. Setelah sepanjang waktu berkutat dengan beraneka rupa manusia, mencurahkan segala dalam diriku, menguras energi, maka saat sendiri, me time, menjadi jeda istirahat yang paling kunanti.
Aku selalu ingin melayani orang lain. Mungkin karenanya aku terkuras. Tapi dari situlah muncul bahagia yang bisa kuresapi saat kembali sendiri. Merasa berarti.
Sering aku ikut tes kepribadian, hasilnya aku ini ambivert. Perpaduan antara introvert dan ekstrovert. Setengah-setengah. Tidak total. Tapi ini menjadi unik. Dan aku senang menjadi ambivert. Aku bisa memahami baik tipe orang introvert maupun yang ekstrovert. Aku bisa nyambung dengan keduanya. Walaupun sama-sama menghabiskan energi untuk menghadapinya.
Aku senang sendiri. Aku merasa tenang, bebas, lepas, tanpa beban. Tidak ada yang harus diberi perhatian selain diriku sendiri. Kusuka itu.
Namun kadang aku suka juga membayangkan jika ada yang selalu bersamaku. Akankah aku akan lebih bahagia? Lebih lelah sih pasti. Tapi mungkin bahagianya juga lebih. Jika cinta dan Ridha-Nya menaungi kami. Dan yang selalu kubayangkan untuk bisa bersamaku itu: kamu.
Mungkin ini salah satu hikmahnya aku masih sendiri. Aku masih diberi waktu banyak untuk menikmati nyamannya sendiri. Barangkali nanti saat tak sendiri lagi, aku tak kuat jika tidak dipuaskan dulu me time saat masih sendiri.
Aku tidak ngapa-ngapain ketika sendiri. Sebagian besar waktuku kuhabiskan untuk merenungkan hari-hari beserta peristiwa-peristiwa yang kulalui akhir-akhir ini. Momen istimewa. Lalu dikaitkan dengan pengalaman di masa sebelumnya yang pernah terjadi. Kira-kira ada hikmah apa. Kira-kira kenapa orang itu begitu atau begini. Juga memastikan kembali bahwa aku yakin dengan keputusan-keputusan yang telah kuambil. Lantas beranjak, memikirkan orang-orang terdekat. Yang terakhir berinteraksi, yang pernah intens berinteraksi lalu lama tak jumpa lagi, orang-orang yang pernah berjasa, orang-orang yang pernah --sepertinya--terluka olehku, masalah-masalah diantara kami, masalah mereka dengan orang lain... apa yang sekiranya bisa kubantu untuk mereka.. Kemudian merenungkan visi, menguntai mimpi. Mau apa lagi, apa saja yang sudah tercapai, bagaimana, apa saja kesulitan yang berhasil kuatasi.. Lantas menggaungkan syukur, betapa Dia Baik sudah menjadikanku sekuat ini.
Aku senang dalam keramaian. Memperhatikan, atau diperhatikan. Tapi itu memakan energi yang luar biasa. Setelahnya, aku akan sangat lelah. Pelarianku adalah mencari kesempatan untuk bisa sendiri. Karena sendiri adalah caraku menghimpun kembali energi. Dengan sholat, berdoa lama-lama, curhat lama-lama dalam hening, tanpa bicara. Atau berkontemplasi. Sendiri.
Makanya aku senang-senang saja saat harus nglaju jauh. Tidak ada kata berat hati. Tidak capek. Malah bahagia. Karena aku sangat menikmati saat-saat sendiri di atas motor, mengarungi jarak yang memakan cukup banyak waktu. Sendiri. Itulah kesempatanku menghimpun kekuatan, antara melepas kelelahan setelah bersama orang-orang 'tadi' dan bersiap menghadapi orang-orang 'nanti'.
Refreshingku mudah, motoran beberapa waktu. Aneh sepertinya bagi banyak orang. Tapi yah, inilah aku. Kuharap kamulah yang membaca ini, dan semoga kamu jadi bisa memahami.
Who Amung Us
Jumat, 26 Januari 2018
Rabu, 24 Januari 2018
Jangan Cemaskan yang Belum Terjadi
Aku sekarang kembali aktif FB. Saat kulihat berandaku, wah. Berseliweran status-status para ibu. Jadi tergeregah.
Seharusnya aku tak perlu khawatir. Aku tidak pernah sendiri. Allah selalu mengirim pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka. Banyak dari mereka, teman-teman FBku, yang sudah punya anak, dan mereka bisa menjalani perannya. Maka pasti aku juga akan bisa menjalani peranku, dimanapun itu.
Allah tidak pernah dzolim, Dia tak kan memberi amanah yang tak mampu kita pikul. Sekarang aku sedang positif dan optimis. Semoga bukan manik sih.
Hmm... Penyakit ini... Inikah yang jadi penghalang? Ah sudahlah. Toh tidak ada orang yang sempurna. Terserah kamu mau menerima atau tidak. Aku memang begini. Semua selalu menguatkan, karena segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan.
Seharusnya aku tak perlu khawatir. Aku tidak pernah sendiri. Allah selalu mengirim pertolongan dari arah yang tidak disangka-sangka. Banyak dari mereka, teman-teman FBku, yang sudah punya anak, dan mereka bisa menjalani perannya. Maka pasti aku juga akan bisa menjalani peranku, dimanapun itu.
Allah tidak pernah dzolim, Dia tak kan memberi amanah yang tak mampu kita pikul. Sekarang aku sedang positif dan optimis. Semoga bukan manik sih.
Hmm... Penyakit ini... Inikah yang jadi penghalang? Ah sudahlah. Toh tidak ada orang yang sempurna. Terserah kamu mau menerima atau tidak. Aku memang begini. Semua selalu menguatkan, karena segala sesuatu diciptakan berpasang-pasangan.
Rabu, 17 Januari 2018
Lagi, Membagi Idealisme
Ada satu lagu baru yang bikin hatiku kebat-kebit. Lagunya IF, nasyid pertama yang dilaunching beberapa minggu yang lalu dari penerbitan yang sedang digalang dananya. Baru kusimak secara utuh hari ini, dan hatiku langsung merinding. Aku belum bisa mendendangkan lagu baru ini dengan merdu seutuhnya seperti lagu-lagu pada umumnya.
Berat. Lagu ini masih belum sanggup kulantunkan tanpa suara yang berubah bergetar dan bergelombang. Aku merasa... ahhh...
"Kuputuskan satu impian
Aku ingin jadi hafiz Quran
Ku akan bertahan walau sulit melelahkan
Allah, beri aku kekuatan
Kuimpikan sepasang mahkota
Tuk berikan di akhirat kelak
Sebagai pertanda bahwa kau sangat kucinta
Aku cinta engkau karena Allah
Ku cinta Ummi
Ku cinta Abi
Kuharap doamu selalu dalam hati
Ku cinta Ummi
Ku cinta Abi
Berharap bersama di syurga-Nya nanti"
Judul lagunya Hafiz Quran, nasyid SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid. Link ori: https://www.youtube.com/watch?v=QiQesjCvh5M
video lirik: https://www.youtube.com/watch?v=UBXWwjKJPo4
Aku sendiri belum berani mengazzamkan ini. Mau beli speaker murottal aja masih pake mikir, ambil satu apa dua. Satu juz per hari saja kadang-kadang masih tak genap juga. Tapi ya Allah, betapa gemetarnya hatiku, kuharap kelak anak-anakku yang menyanyikan lagu ini untukku..untuk kami orang tuanya. Dan tentu, menjalankan ziyadah rutin untuk mewujudkan mimpinya.
Izinkan Ya Allah..
Kau saksinya. Aku tidak pernah ingin jadi wanita karir. Cita-cita terbesar sekaligus idealisme termurniku adalah ingin turut serta membangun peradaban dengan menjadi seorang ibu yang sebenar-benar madrosatul 'ula.
Membangun sebuah keluarga bahagia, yang berorientasi Robbani, meneladani sunnah-sunnah dalam rumah tangga Nabi, demi meraih ridha-Mu, Illahi.
Bermimpi hidup mandiri bersama suami dan anak-anak, tidak menjadi beban bagi siapapun, saling bahu-membahu membangun ketaatan bersama mereka hari demi hari di dunia hingga bisa berkumpul kembali di syurga.
Aku tidak mau jadi guru yang cuma mengajar banyak anak ideologis, sementara anak biologisnya sendiri dititipkan ke taman penitipan atau ke mertua, lalu saat bertemu, kegiatannya minjemin gadget ke balitanya untuk dipakai nonton youtube sementara ibunya disibukkan dengan rapat atau bikin laporan atau apalah. Setiap tahun, setiap semester, setiap mid semester, setiap bulan, setiap pekan, setiap hari. Astaghfirullah. Naudzubillah.
Aku senang punya anak ideologis banyak di sini. Tapi kelak, kalau aku sudah punya anak sendiri, aku takut dengan amanah utama itu kalau sampai tertelantarkan.
Ingin punya suami yang sholih, yang bisa memimpin, yang layak diberi bakti terbaik, yang atas izin-Nya bisa mencukupi segala kebutuhan keluarga kami serta menjadi jalan rizki bagi banyak orang lain. Dan semoga Allah kuatkan aku agar bisa mencukupkan seberapapun yang Allah beri lewat suami.
Menjadi ibu yang menyekolahkan anak-anaknya dengan dasar ilmu yang dipunya. Homeschooling. Setidaknya sampai mereka menginjak fase betul-betul siap untuk dititipkan belajar ke sosok-sosok yang lebih berilmu. Pemuda.. butuh belajar, butuh bersosialisasi, butuh aktualisasi. Maka mungkin saat itulah yang tepat untuk mereka mulai kulepas. Dilepas kepada guru, dilepas kepada masyarakat.. Dibiasakan untuk berinteraksi dengan peradaban. Sambil orang tuanya pun terus belajar.
Ya Allah.. aku sadar sepenuhnya, ini tidak sesederhana menuliskannya. Tapi Engkau saksikan Ya Allah, sudah kuikrarkan untuk mewujudkannya. Maka tolong kabulkan Ya Allah.. Engkau sebaik-baik pengabul doa.
DN 2 setengah, larut malam pasca IHT 14 Januari 2018
Rabu, 10 Januari 2018
SAAT ANAK TIDUR, HARUSKAH IBU TETAP LANJUT BERSIH-BERSIH?
Beberapa hari yang lalu, tetangga satu blok rumah sempet dikagetkan oleh seorang ibu, tetangga saya, yang bingung cari-cari dimana anaknya.
Bocah usia sekitar 3 tahunan itu terakhir kali terlihat sedang main-main sore bareng teman sebayanya di depan rumah, kebetulan kemudian ibunya sedang kedatangan tamu sehingga harus masuk rumah sebentar. Dan ketika ibu itu keluar untuk mengawasi anaknya lagi,
O'ooo. Ternyata sudah sepi. Tidak ada anaknya di depan sana.
Akhirnya beliau coba cari ke tetangga, tapi tidak ada.
Coba dicari ke warung biasa mereka jajan, juga tidak ada.
Coba dicari ke warung biasa mereka jajan, juga tidak ada.
Si Ibu sudah mulai pucat. Dan orang-orang satu blok mulai panik.
Kemudian datanglah salah satu anak berusia 7-8 tahun, yang tadi bermain bersama anak.
"Tante, tadi Si Icha main sendiri, lari-lari ke arah Posyandu!"
Mendengar itu, beliau langsung lari secepatnya menuju tempat main di dekat Posyandu. Sambil ngos-ngosan, matanya menyusuri sepanjang tempat permainan untuk mencari keberadaan anaknya.
Masya Allah, alhamdulillah. Bocah itu memang benar ada di sana! Ia sedang asyik bermain jungkat-jungkit. SENDIRI.
Ibunya langsung berlari, memeluk anaknya erat, membawanya kembali pulang, dan juga menyampaikan pada kerumunan tetangga yang juga ikutan panik bahwa anaknya sudah ditemukan.
Lalu, tiba-tiba ada seorang ibu yang berucap,
"Duh, mangkanya Bu, KALO ANAKNYA TIDUR JANGAN IKUTAN TIDUR, beresin rumah dulu, jadi pas main bisa jagain."
***
Saya tidak pernah tau dari mana dan mulai kapan adanya doktrin bahwa ibu tidak boleh tidur ketika anak sedang tidur untuk menyelesaikan masalah domestik. Yang jelas sepertinya setiap ibu pasti ada masanya mendengarkan kalimat seperti itu di telinganya.
Seolah-olah seorang ibu tidak memiliki ijin untuk sekedar tidur merehatkan badannya.
Padahal sebagai sesama ibu, kita pastilah sama-sama merasakan perbedaannya seperti saat sebelum memiliki anak,
Jam tidur malam yang tidak bisa seenaknya seperti dulu,
Bahkan tidur pun pasti macem ayam yang takut kebablasan berkokok di waktu subuh,
Mata merem, tapi telinga masih bisa denger suara di seluruh penjuru.
Waktu mandi yang sudah tidak bisa berlama-lama kayak jaman masih singlelilah dulu.
Waktu dandan dan nyalon udah bukan lagi jadi nomer satu.
Tanggung jawab pun kini bukan lagi tentang diri sendiri, tetapi selalu memikirkan anak terlebih dahulu.
Jam tidur malam yang tidak bisa seenaknya seperti dulu,
Bahkan tidur pun pasti macem ayam yang takut kebablasan berkokok di waktu subuh,
Mata merem, tapi telinga masih bisa denger suara di seluruh penjuru.
Waktu mandi yang sudah tidak bisa berlama-lama kayak jaman masih singlelilah dulu.
Waktu dandan dan nyalon udah bukan lagi jadi nomer satu.
Tanggung jawab pun kini bukan lagi tentang diri sendiri, tetapi selalu memikirkan anak terlebih dahulu.
Dan ketika semua perubahan tumplek blek jadi satu, masihkah seorang ibu kemudian 'diwajibkan' tetap melek saat anak mulai terlelap?
Duhaaiii sesama ibu,
Siapa sih sekarang yang bisa menahan mata gak ikut tidur pas lagi ngelonin bocah di kasur ditambah bantal empuk apalagi kalo ada angin semilir siang hari?
😂
😂
😂
😂
*pasti tau laahh ini nikmatnya gimanaa




*pasti tau laahh ini nikmatnya gimanaa
**
Maafkanlah sesama ibu ketika mereka mengambil jatah istirahatnya.
Karena menjadi ibu, akan selalu menguras emosi dan tenaga sekalipun anaknya sudah beranjak dewasa.
Ijinkan sejenak ia membaikkan moodnya lagi, mengecilkan stress nya yang sedari tadi menghantui, agar ia bisa mengumpulkan lagi bahan bakar energi nya.
Jika ia bahagia, bukankah ia akan mendidik anaknya dengan bahagia pula?
***
Maafkanlah diri sendiri ketika ternyata tanpa sengaja tertidur dengan kondisi pekerjaan domestik yang masih menumpuk.
Karena peranmu memang bukan melulu untuk hal teknis, melainkan untuk peran strategis dalam mendidik amanah Allah, Bu.
Pastikan saja kita memainkan sebaik-baiknya peran itu.
Pastikan saja kita memainkan sebaik-baiknya peran itu.
Jangan ragu untuk membuat kandang waktu,
Karena segala pekerjaan rumah itu tidak akan pernah selesai jika kita terus-menerus mengerjakannya tanpa kenal waktu.
Karena segala pekerjaan rumah itu tidak akan pernah selesai jika kita terus-menerus mengerjakannya tanpa kenal waktu.
Istirahatlah ketika raga sudah mulai lelah,
Istirahatlah ketika emosi sudah mulai susah terkendali,
Istirahatlah ketika tingkat kepanasan otak sudah mulai memuncak,
Istirahatlah ketika hati sudah mulai letih.
Istirahatlah ketika emosi sudah mulai susah terkendali,
Istirahatlah ketika tingkat kepanasan otak sudah mulai memuncak,
Istirahatlah ketika hati sudah mulai letih.
Jangan ragu untuk meminta bantuan suami atau mendelegasi orang lain saat semua mulai padat penat.
Karena baju bisa dilaundry,
Makanan bisa dibeli,
Rumah bisa dibersihkan nanti,
Makanan bisa dibeli,
Rumah bisa dibersihkan nanti,
Tapi, ibu yang mendidik dengan baik dan dengan hati, bukankah tidak akan pernah bisa diganti?



Januari, 2018
Rizky Kurniawati
IG @ummikiky
Rizky Kurniawati
IG @ummikiky
Selasa, 09 Januari 2018
Bimbang
Kuliah, menikah, jadi PNS...
Yang mana dulu?
Mana yang mesti kuprioritaskan dulu?
Mana yang lebih mendekatkan pada syurga?
oh Allah...
Aku hanya ingin beribadah...
Kuliah berarti aku harus mengumpulkan uang lagi, mengumpulkan informasi beasiswa lagi, belajar Bahasa Inggris mati-matian lagi, cari sertifikat bahasa lagi, melamar-lamar lagi, dan menunggu dalam tawakkal...
Namun itu bermakna aku menjiwai hidupku, menjadi diriku, dan mensyukuri nikmatMu.
Jadi PNS berarti aku membunuh waktu sambil mempersiapkan diri, memantau perkembangan informasi, belajar, menyisihkan sebagian uang untuk bolak-balik tes lagi, menunggu, dan berpasrah...
Namun itu bermakna bakti, cinta, dan perjuangan menatap realita.
Menikah? Berarti aku harus segera kembali jadi diri sendiri, memberanikan diri matur ke mereka lagi, merevisi biodata dan menuntaskan proposal dari 0 lagi... mengungkap rahasia terdalamku.. meminta mereka menyampaikannya padamu.. menahan malu, cemas, dan harap.. menunggu.. berdoa..
Namun itu berarti aku memperjuangkanmu, memperjuangkan kita.
Dan aku tidak tahu kesudahan dari itu semua.
Pasti akan ada jawaban Ya, Tidak, atau Nanti.
Tapi aku tidak tahu yang mana yang harus kumulai.
oh Allah...
Rasanya sudah saatnya harus ada perubahan lagi dalam hidupku. Tapi dari sisi apa, aku betul-betul tidak tahu.
Oh ya, benarkah harus aku yang mengajukan diriku? Tidakkah lebih elok jika aku tenang menunggu?
Sayangnya aku benar-benar tidak paham apa yang menghambat langkahmu. Dan entah bagaimana aku mencari tahu. Hanya bisa berharap kau masih dalam lingkaran yang sama denganku, sehingga jembatan yang kuharapkan bisa menyampaikannya padamu.
Inilah aku.
Sudah hampir sepuluh tahun. Ingin kusudahi dengan akhir yang pasti. Lebih baik kurendahkan diri daripada terkatung dalam kesamaran, dalam harap dan cemas yang tiada tepi.
Tapi kapan?
Sekali lagi, yang mana dulu?
Karena.. hasil istikhorohku_*
Yang mana dulu?
Mana yang mesti kuprioritaskan dulu?
Mana yang lebih mendekatkan pada syurga?
oh Allah...
Aku hanya ingin beribadah...
Kuliah berarti aku harus mengumpulkan uang lagi, mengumpulkan informasi beasiswa lagi, belajar Bahasa Inggris mati-matian lagi, cari sertifikat bahasa lagi, melamar-lamar lagi, dan menunggu dalam tawakkal...
Namun itu bermakna aku menjiwai hidupku, menjadi diriku, dan mensyukuri nikmatMu.
Jadi PNS berarti aku membunuh waktu sambil mempersiapkan diri, memantau perkembangan informasi, belajar, menyisihkan sebagian uang untuk bolak-balik tes lagi, menunggu, dan berpasrah...
Namun itu bermakna bakti, cinta, dan perjuangan menatap realita.
Menikah? Berarti aku harus segera kembali jadi diri sendiri, memberanikan diri matur ke mereka lagi, merevisi biodata dan menuntaskan proposal dari 0 lagi... mengungkap rahasia terdalamku.. meminta mereka menyampaikannya padamu.. menahan malu, cemas, dan harap.. menunggu.. berdoa..
Namun itu berarti aku memperjuangkanmu, memperjuangkan kita.
Dan aku tidak tahu kesudahan dari itu semua.
Pasti akan ada jawaban Ya, Tidak, atau Nanti.
Tapi aku tidak tahu yang mana yang harus kumulai.
oh Allah...
Rasanya sudah saatnya harus ada perubahan lagi dalam hidupku. Tapi dari sisi apa, aku betul-betul tidak tahu.
Oh ya, benarkah harus aku yang mengajukan diriku? Tidakkah lebih elok jika aku tenang menunggu?
Sayangnya aku benar-benar tidak paham apa yang menghambat langkahmu. Dan entah bagaimana aku mencari tahu. Hanya bisa berharap kau masih dalam lingkaran yang sama denganku, sehingga jembatan yang kuharapkan bisa menyampaikannya padamu.
Inilah aku.
Sudah hampir sepuluh tahun. Ingin kusudahi dengan akhir yang pasti. Lebih baik kurendahkan diri daripada terkatung dalam kesamaran, dalam harap dan cemas yang tiada tepi.
Tapi kapan?
Sekali lagi, yang mana dulu?
Karena.. hasil istikhorohku_*
Senin, 08 Januari 2018
Bila Aku Diam
Murobbi yang ikhlas atau Murobbi yang mumpuni.. Sepertinya aku bukan keduanya.
Berarti ini rahmat Allah semata.
Mutarobbi yang setengah tahun lalu sempat meminta izin khusus untuk tidak menyapa saat bertemu karena rikuh merasa belum kenal, barusan memelukku dari belakang, bilang Bu Ridla jangan sakit...
Dengan akrab, dengan lugas dan spontan.
Padahal aku menjalankan ini separuh hati. Separuh lainnya masih berkelana menjejak cita: melegakan orang tua.
Sekarang aku banyak berbeda. Aku sama sekali tidak fokus dan tidak total.
Jauh berbeda dari aku yang dulu.. Yang selalu bersemangat dan terdepan dalam segala sesuatu.
Bahkan ini kami kemalaman gara-gara sopir angkotnya salah ambil jalan, karena aku tidak memperhatikan, sebab aku memilih diam.
Padahal dulu, aku selalu memilih mengambil tanggung jawab terberat yang sanggup aku pikul. Sekarang? Yang teringan pun tidak sepenuh hati dijalani.
Astaghfirullah...
Di angkot dalam perjalanan pulang dari IBF ke IFBS. Liqo wada.
060118 - 22.31
Berarti ini rahmat Allah semata.
Mutarobbi yang setengah tahun lalu sempat meminta izin khusus untuk tidak menyapa saat bertemu karena rikuh merasa belum kenal, barusan memelukku dari belakang, bilang Bu Ridla jangan sakit...
Dengan akrab, dengan lugas dan spontan.
Padahal aku menjalankan ini separuh hati. Separuh lainnya masih berkelana menjejak cita: melegakan orang tua.
Sekarang aku banyak berbeda. Aku sama sekali tidak fokus dan tidak total.
Jauh berbeda dari aku yang dulu.. Yang selalu bersemangat dan terdepan dalam segala sesuatu.
Bahkan ini kami kemalaman gara-gara sopir angkotnya salah ambil jalan, karena aku tidak memperhatikan, sebab aku memilih diam.
Padahal dulu, aku selalu memilih mengambil tanggung jawab terberat yang sanggup aku pikul. Sekarang? Yang teringan pun tidak sepenuh hati dijalani.
Astaghfirullah...
Di angkot dalam perjalanan pulang dari IBF ke IFBS. Liqo wada.
060118 - 22.31
Langganan:
Postingan (Atom)