Who Amung Us

Jumat, 28 Juli 2017

Homonim, Homofon, Homograf

Oleh-oleh ringan dari sepotong surga di Mungkid: SMAITIF.

Kenapa aku mengambil topik  itu (Homonim, homofon, homograf) dalam kontestasi microteaching (halah) tadi pagi, secara rada mendadak dengan nyaris pantas dibilang benar-benar nol--tanpa--persiapan.

Itu adalah topik paling berkesan semasa aku SMA, yang mungkin tidak akan pernah terlupa seumur hidupku nantinya.

Episode ngewel di depan kelas. Bareng Bayu PiEm (Prabowo Mukti). Alahalah, guweh masih apal namenyeh, name lengkapnyeh. Weheheh. Salah satu cowok paling tuinggi, kerempeng, pendiam, dan grogian di kelas X A.. Yang [salah satunya juga] paling sering dipacok-pacokke denganku. NB: hampir setiap murid cowok di kelasku, sejak kelas 4 SD sampai lulus SMA, pernah dipacok-pacokke sama aku. Sial sekali nasib kami. Alhamdulillah-nya, tidak pernah ada yang jadian. Nasib yang sial tapi selamat, bahagia kan ujungnya?

Nah, si Bayu PMM dan aku, secara random ditunjuk Bu Guru untuk maju ke depan kelas. Sepele sekali urusannya: nulis 1 pasang kata homonim.

Aku maju sudah dalam keadaan ndredeg panas dingin. Sampai papan tulis, naik ancik-anciknya, pegang spidol, tanganku gemetaran, otakku macet. Blank.

Masih untung aku nggak pingsan waktu itu. Deuh.. betapa aku dulu gak pedean, selalu demam panggung, menghindari kontak sosial... Sedangkan sekarang, seperti Doraemon, aku ingin begini, aku ingin begitu, jadi guru, jadi motivator, jadi konselor, jadi ahli fiqih kontemporer, daan lain sebagainya. Metamorfosis "kawah jingga" itu luar biasa Ya Allah, terima kasih banyaaak, segala puji hanya untuk-Mu.

Di depan kelas, bermenit-menit, aku hanya mengacungkan spidol gemetaran sampai tanganku kesemutan, dan tidak satu kata homonim-pun ketemu untuk dituliskan. Padahal eh padahal, kekayaan diksiku dari kecil lumayan lho, di atas rata-rata teman sekelas. Nilai tertulisku selalu bagus kalau pelajaran Bahasa. Tapi kalau lisan, beda ceritanya. Apalagi giliran harus maju ke depan kelas, hancurlah sudah.

Malunya...
Bermenit-menit yang tak terlupakan sepanjang sisa usia.
Akhirnya aku disuruh Bu Guru balik ke tempat duduk... dengan menanggung malu dan segunung rasa bersalah. Luar biasa. Dan Bayu PM pun sama tidak berhasilnya.

Maka dari kisah tersebut  aku jadi belajar. Kujadikan kelas microteachingku tadi mengalir dengan kesederhanaan dan suasana alamiah.
Aku puas.
Meski banyak hal di luar rencana..
Yang rencananya pun dibikin mendadak..
Thanks to Allah lagi, aku dapat giliran lumayan belakangan untuk bisa mengambil pengalaman "guru" sebelumnya, dan cukup pertengahan (belum akhir) sehingga masih kebagian "murid" untuk kuajak bersenang-senang.

Belajar itu senang.

Itulah guru yang ideal menurutku...
Yang bisa membuat siswanya
belajar dengan senang
sehingga senang belajar.

Ngomong-ngomong homofon itu 2 kata yang tulisan dan bunyi nya sama, tapi artinya beda. Contoh : bisa (racun &  dapat).

Kalau homofon, 2 kata yang bunyinya sama tapi tulisannya beda. Misal : sanksi (hukuman)   & sangsi (ragu).

Nah homograf, 2 kata yang tulisannya sama tapi bunyinya beda. Seperti apel (nama buah) & apel (pertemuan).


200617

Tidak ada komentar:

Posting Komentar