Who Amung Us

Rabu, 31 Maret 2021

Perjuangan Hidup Remaja Caregiver (Resensi Novel Ayah Aku Rindu)


Judul Buku       : Ayah Aku Rindu

Penulis             : S. Gegge Mappangewa

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Halaman         : 192

Harga              : Rp 45.000,00

 

Berlatar di Kampung Allakkuang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, novel ini menceritakan tentang kisah seorang remaja yang "kehilangan" sosok ayahnya karena Sang Ayah menderita gangguan jiwa. Sebelum segala musibah beruntun menimpa keluarganya, kehidupan Rudi bisa dibilang sempurna. Mereka adalah keluarga kecil yang hangat, penuh cinta, juga berkecukupan. Namun kemudian, ujian demi ujian diturunkan Allah untuk mereka. Dan suatu kenyataan yang dahsyat rupanya mulai merenggut kewarasan ayah Rudi.

Rudi sebagai keluarga terdekat Sang Ayah amatlah tulus merawat beliau. Dia rela mengorbankan hobinya, waktu bermainnya, bahkan sekolahnya, untuk melayani segala keperluan ayahnya, termasuk urusan makan, tidur, dan buang hajat. Padahal, beliau sekarang tidak lagi bersikap sebagaimana layaknya seorang ayah pada anaknya. Bahkan, semakin lama sikapnya semakin buruk pada remaja tanggung itu.

Kondisi kejiwaan ayah Rudi semakin parah. Beliau tidak hanya membahayakan keselamatan anaknya, tapi juga membahayakan tetangganya. Maka kemudian mengharukan sekali menyimak perjuangan Rudi menata hatinya dan menerjemahkan rasa cintanya pada ayahnya ke dalam tindakan yang tepat. Memasukkan ayahnya untuk dirawat di Rumah Sakit Jiwa bukanlah keputusan yang mudah diambil oleh seorang anak yang sangat berbakti seperti Rudi. Membiarkan ayahnya dipasung oleh para tetangga juga hal yang menyakitkan bagi batin pemuda tanggung ini.

Namun akhirnya, Pak Sadli, guru Rudi yang paling dia hormati, berhasil meyakinkan Rudi, bahwa penyakit kejiwaan bisa diobati, dan perawatan di Rumah Sakit Jiwa adalah yang paling dibutuhkan oleh Sang Ayah. Pak Sadli pula yang akhirnya berhasil menemukan penjelasan atas sejarah kelam keluarga mereka.

Novel ini sungguh unik. Sudut pandangnya tidak biasa. Langka tulisan yang menyoroti problem hidup seorang Caregiver dari ODGJ, apalagi tokohnya masih remaja. Alur cerita pun disajikan apik. Manusiawi dan menyentuh sekali.

Novel ini sangat direkomendasikan untuk memperkaya budaya literasi generasi muda. Sangat kami nantikan karya-karya bergizi semacam ini, baik dari S. Gegge Mappangewa yang sudah berpengalaman menulis banyak cerita, maupun dari penulis-penulis muda lainnya.


 

Minggu, 28 Maret 2021

Aku Punya Masalah Tidur



Sebetulnya bukan masalah. Hanya kebutuhan yang lebih besar akan tidur. Dibandingkan orang orang di sekitar ku, aku paling banyak tidur. Setidaknya aku butuh tidur 8 jam sehari untuk bisa optimal beraktivitas esok harinya.

Yang masih aku cemaskan, kaya apa ya besok kalau sudah berumah tangga? Bagaimana caraku mengatur waktu supaya aku tetap waras?

Aku butuh tidur untuk menyeimbangkan energi. Dulu, aku nggak masalah dengan tidur 3 jam sehari. Bisa tetap full aktivitas, fit, aman. Tapi ternyata kekurangan tidur yang berlarut larut itu memicu penyakit. Dan sejak sakit itu menderaku, aku tidak lagi bisa sembrono tidur seenaknya.

Aku sekarang tidak bisa memaksakan diri. Ngotot sedikit, sakit menyambut. Nekat lembur, tanpa kontrol yang ketat, manik atau depresi menanti. Tergantung apa yang aku alami. Kesuksesan, pengakuan, penghargaan, jika aku tidak mengontrol diri, bisa memicu manik. Kegagalan, permasalahan, konflik, jika tidak segera dikelola pun sebaliknya, memicu depresi. Oh aku kini rapuh sekali.

Aku tidak pungkiri, kini ku terima ini sepenuh hati sebagai bagian dari diriku, bahwasanya aku ODB. Dan itu berarti, aku butuh untuk selalu mengontrol diri. Paham kapan saatnya harus mengerem emosi. Paham kapan harus minum obat. Paham kapan aku mulai capek. Paham kapan harus istirahat. Paham kapan harus kontrol. Paham kapan harus curhat. Paham kapan harus menggali lebih banyak informasi dari yang lebih ahli. Namun kadang aku lupa. Atau tidak peka.

Dan konsekuensinya, aku selalu butuh Caregiver. Beruntung sekarang aku tinggal di asrama. Selalu ada teman di sisi ku. Yang bisa menegurku, mengingatkan ku, menguatkan ku, mendengarkan ku, mengontrol ku jika sudah kebablasan. Ya walau terkadang kami juga seru-seruan menghabiskan malam. 

Apalagi sekarang. Aku punya teman sekamar yang amatlah menyenangkan. Kami satu frekuensi. Aku jadi merasa punya kandidat adik ipar, hehehey. Tunggu mereka besar, akan coba saling kuperkenalkan insyaallah. Siapa tahu kan?

Apa begini saja terus ya? Ini posisi nyaman. Tidak perlu konflik berarti. Yah, kalau takdir ku melajang hingga akhir usia, setidaknya sekarang aku tahu, dimana aku harus menghabiskan sisa usia itu. 

Tapi ya Allah, jika aku Kau takdirkan berkeluarga suatu saat nanti, entah itu kapan, berikanlah aku pasangan yang baik, mertua yang baik, keluarga besar yang baik, lingkungan yang baik, tetangga yang baik, anak-anak yang baik, dan mampukan aku menjalani peranku dengan baik. Meski saat ini aku belum bisa melogika, bagaimana caranya menjaga diri tetap waras jika berkeluarga. 

Tentu aku akan tidur paling akhir, karena aku istri dan ibu. Aku harus memastikan semua aman dan baik-baik saja. Aku tidak bisa lagi seperti sekarang, anak-anak asuhku masih sibuk belajar, bermain, bercerita,dsb, akunya tidur duluan. Kalau suami pulang malam, berarti aku harus selalu ada kan untuknya. Lalu di pagi buta, bukankah aku yang semestinya bangun pertama. Menyiapkan segalanya, membangunkan setiap orang di rumah. Habis Subuh, tidak ada lagi ceritanya tidur pagi, aku akan sibuk memandikan, memasakkan, menata-nata segalanya, mempersiapkan semua orang. Lalu aku akan sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Aku tidak terpikirkan untuk bekerja di luar rumah. Aku hanya ingin aktualisasi diri dan mengamalkan ilmu. Berbagi barangkali. Tapi tidak berstatus pegawai/pekerja. 

Sebab fitrah ku adalah dinafkahi. Aku sanguinis-koleris. Keras kepala. Ego tinggi ini entah apa bisa luntur nantinya. Aku khawatir tidak bisa menghormati suami sebagaimana mestinya jika malah aku yang menafkahi keluarga.

Pekerjaan rumah tangga tidak ada habisnya. Dan pula, pendidikan rumah harus terlaksana. Rumah adalah madrasah. Tempat pertama seorang anak akan belajar dan ditempa. Aku tidak mungkin leha-leha di saat seharusnya aku mendidik mereka sebaik-baiknya. Memasak lagi, beres-beres lagi, menyambut suami, melayani segala keperluan suami, mempersiapkan segala keperluan untuk esok hari. Lalu habislah satu hari. Besoknya begitu lagi. Besoknya lagi. Lagi. Dan lagi. 

Lantas apa kabar tidur 8 jam ku? Bisa tetap waras kah aku?

Kurang tidur bisa memicu penyakit ku. Berlipat kali bahayanya dibandingkan orang sehat. Ah biarlah Allah lagi yang menjawab. Dia lebih tahu yang terbaik buatku.

Semangat Kuliah Itu Telah Kembali

Semangat kuliah ku lagi terdongkrak habis habisan. Batal menyerah terlalu dini. 

Apa pasal? Lihat KHS yang nilainya menjulang di luar nalar.


Dosen-dosen di sini terlalu baik, kelewat murah hati. Jadi merasa durhaka kalau undur diri sekarang. 

Ini masihlah layak untuk diperjuangkan!


Dan lalu, kau pasti sependapat dengan ku, apa lagi yang lebih nikmat dibanding meresapnya cahaya ilmu ke dalam relung-relung gelap hatimu? 

Sungguh. Sekali hatimu siap, begitu kau berdoa minta tambahan ilmu dan minta diberi kepahaman, kalau itu jujur adanya, Dia akan dengan royal menggelontorkan segala yang kau butuhkan. Sesuai dengan permintaan mu itu. Tanpa hijab, tanpa sekat. Langsung, seketika. Beruntun.

Sepanjang hari penuh dengan naungan ilmu, bukankah itu yang kau tunggu tunggu sejak sekian waktu?


Sabtu, 27 Maret 2021

Semester Baru, "Penyesuaian"

Semalam. Aku sudah di ujung asa untuk meneruskan kuliah S1 BKI ini, dengan segala kendala, dengan segala kecewa, dengan segala yang tidak ideal, ketika ku buka akunku di siakad. Lalu di layar, terpampang nilai-nilai yang di luar nalar. Dosen-dosen ku terlampau baik..  Aku mbrebes mili. 

Pagi tadi, di saat kuliah semester penyesuaian dimulai lagi, semangat ku pun kembali 45. Tapi aku tidak mencatat. Aku hanya menyimak baik-baik. Lalu pertemuan pertama dari 16 pekan ke depan, berjalan. 

Aku kembali optimis, ini masih layak ku perjuangkan. Tapi aku sadar diri, aku tidak cukup amanah untuk lanjut terus menjadi ketua angkatan. Apalagi sekarang lebih kompleks, kelas kami digabung dengan adik tingkat. Meskipun mata kuliahnya cuma 3 untuk semester ini, melihat perkembangan situasi, sepertinya adalah langkah tepat jika aku mengundurkan diri.

Alhamdulillah begitu kuusulkan, teman-teman banyak yang respon setuju. Tinggal menunggu calon pengganti ku setuju. Dan akan dimulai kabinet baru..wkwkwk. 

Selasa, 23 Maret 2021

Perpanjang SIM di Luar Daerah Asal 2021

 (Memoar Perantau Magelang Asal Klaten)

Awal Maret, pengingat kalenderku berdering dering. Sebulan lagi, 1 April, batas maksimal aku memperpanjang masa berlaku SIM ku. Sengaja kupasang pengingat jauh-jauh hari supaya longgar mengatur waktu nya. Juga buat nyiapin anggaran nya.

Awalnya sempat mikir, aku bikin SIM nya barengan aja ah sama kontrol rutin ke dokter. Tapi ditimbang timbang, kayaknya waktunya nggak bakalan nyukup 1 hari jadi deh kalau urusan nya 2 macam gitu. Terus mulai deh cari solusi. Pasang status WhatsApp, japri tanya-tanya info SIM ke temen-temen, curhat di grup keluarga, browsing google. Lalu cari waktu yang tepat, sebelum terlambat.

Dari berbagai sumber itu, beragam jawaban yang didapat. Ada teman yang bilang kudu nyiapin biaya 220.000, 185.000, 175.000.. yah, sekitar itulah. Mak jegagik. Perasaan dulu pertama kali bikin SIM baru cuman 240.000. sekarang perpanjangan aja nyampe segitu.

Di grup keluarga, Ibuk sempat mendebat berdasarkan informasi dari internet, biaya perpanjangan SIM hanya 75.000. bapak dan adik sempat juga menebak, kisaran biaya sampai dua ratus ribuan itu mungkin pakai calo.

Okelah, aku akan pastikan sendiri. Hari ini akhirnya aku berangkat. Mumpung ada kesempatan, sudah izin sama atasan semalam, dan kali ini tidak perlu pakai surat izin. Tapi gawatnya, di pagi buta, datang tugas mendadak untuk menggantikan jadwal jaga UCO. 2 permintaan. Yasudah, sepertinya memang lagi banyak yang berhalangan, aku bantu bantu dulu nggak masalah.

Selepas mengawas, baru kucari lagi info tepatnya apa saja yang harus kubawa, dan di mana tempatnya yang harus kutuju. Beruntung ada mbak Vita, mbak Yanti, mbak Janah yang dengan enteng tangan menginformasikan berbagai hal yang kubutuhkan. Hanya perlu bawa KTP dan SIM asli, lalu difotokopi.

10.21 Akupun ke BMT, mengambil uang gaji yang sengaja kusisihkan khusus untuk memperpanjang SIM ini. Aku berangkat dari Pabelan 1, gerbang SMA. Menuju ke area Kota Mungkid, menyusuri deretan bangunan-bangunan kantor pemerintahan.

Mampir dulu isi bensin di Pom Mendut. Jaga-jaga kalau harus kemana-mana, soalnya bensin udah lumayan mepet. Pas lihat ada kios fotokopi di sekitar seberang BNI Mungkid, aku mampir fotokopi KTP dan SIM masing masing rangkap 2. Aku belum tahu sih tepatnya butuh berapa. Habis seribu. Sekarang rata-rata di mana mana fotokopi per lembar 250 rupiah.

Melewati bangjo masjid An Nuur, aku jalan semakin pelan. Mengamati kiri dan kanan jalan sampai ketemu tulisan LPK Jaya Barokah di kanan jalan. Samping LPK itu ada bangunan kecil yang pelataran nya banyak motor,dijaga tukang parkir. Ini persis deskripsi dari Mbak Yanti tadi. Aku pun menyeberang, parkir, dan langsung kelihatan berbagai petunjuk untuk memperpanjang SIM.

Aku masuk ruangan paling kiri, yang ada tulisan pendaftaran dan tes kesehatan. Antri 1 orang saja sambil menyiapkan fotokopi KTP dan SIM ku, aku sudah dipanggil. Ditanyai langsung mau memperpanjang SIM C. Setelah ku konfirmasi, langsung aku disuruh mengukur tinggi badan di alat pengukur, dan ternyata aku 152. (Duh, berubah lagi skalanya. Bikin SIM pertama pas masih ABG dulu, aku 154. Pas tes kerja di PT KAI, aku 149, langsung disuruh pulang, nggak lulus. Sekarang 152. Hhhh)
Lalu aku diminta menimbang berat badan di timbangan sebelahnya, 76. Oh noooo.
Lalu diminta masuk ke ruangan di balik pintu. Di sana aku dipersilakan duduk di kursi merah, lalu dites mata. Pertamanya diminta menutup 1 mata, dan tulisan yang ditunjukkan lumayan kecil. Aku kesulitan membaca hurufnya. Lalu ukuran huruf dinaikkan dan dilihat pakai 2 mata langsung. Lancar. Lalu pindah kursi dan ditanya-tanyai riwayat kesehatan. Setelahnya, aku diminta bayar 50.000 dan diberi surat keterangan kesehatan.

Pindah ke ruangan di deretan tengah. Ada air mineral kemasan di kardus, dan buku tamu. Aku langsung masuk, menyerahkan fotokopi KTP dan SIM beserta surat keterangan kesehatan sebelumnya. Antri. Lalu aku dipanggil, diberi soal tes psikologi dan lembar jawab nya. Ku kerjakan saja. Soal-soalnya tidak sulit. Gambaran umum saja. Aku berusaha jujur, ada beberapa item pertanyaan yang kujawab dengan jawaban negatif, sebagaimana adanya. Untung nggak banyak. Banyakan positifnya tetep. Setelah soal dan LJ ku serahkan, aku diminta menunggu sebentar, lalu dipanggil. Diminta bayar 50.000 dan diberi surat hasil tes psikologi. Setelahnya, aku diarahkan untuk menuju ke gedung SIM loket 1.

Ternyata gedung SIM itu ada di dalam Polres Magelang, dan tempatnya terpisah 100 meter dari lokasi tes itu. Parkir 2x deh, soalnya bapak parkiran tes udah mau tutup sebentar lagi. Daripada saling merepotkan, ya Udin, kubayar ongkos parkir nya, dan kulajukan motorku menuju parkiran SIM dalam Polres. Lingak-linguk sebentar, ada banyak petunjuk dipasang dimana mana. Mudah saja menemukan gedung SIM yang dimaksud. Di pelatarannya, ada bapak polisi sedang memperagakan ujian praktik mengemudikan motor, di lintasan 8. Ada mas-mas bermasker hitam berdiri memperhatikan bapak itu di dalam area lintasan.

Gedung SIM itu tinggi lantainya, ada tangga pendek, dan ada akses jalan miring untuk yang berkursi roda. Aku langsung masuk ke gedung SIM, mengedarkan pandangan sesaat, menuju loket 1. Tidak ada orang. Aku berdiri sebentar di situ, lingak-linguk lagi, sampai ada bapak-bapak berkemeja biasa masuk ke loket 1 itu dan membantuku. Berkas kuserahkan, bapaknya menatanya di map, lalu aku diarahkan untuk mengisi formulir di kursi tunggu, dan membayar di kantin.

Kucari spot yang paling adem terkena jalur tolehan kipas besar. Duduk di situ, merogoh tas, mencari pulpen, minum sepuasnya, lantas mengisi formulir. Selesai, barang-barang ku bereskan, ku siapkan uang 75.000, menuju kantin.

Di kantin, ada ibu polisi duduk di kursi makan, mejanya penuh alat tulis. Sepertinya di situlah pembayarannya. Mengantri 1 orang yang sedang menyelesaikan transaksi, aku pun dipanggil. Berkas ku serahkan, ibunya menandai beberapa hal, lalu menyebutkan biayanya 75.000 untuk perpanjangan SIM C, ditambah 3000 untuk biaya top up e-money yang dipakai untuk membayar biaya perpanjangan SIM itu. Baiqlah, yang 75 di tangan ku serahkan, lalu rogoh-rogoh tas lagi, mencari 3000. Selesai, berkas diberikan kepada ku lagi. Aku diarahkan ke loket 2.

Di loket 2, berkas kuserahkan, dikonfirmasi kembali akan memperpanjang SIM, lalu aku diminta menunggu di tempat mengisi formulir tadi. Aku duduk di tempat yang sama, yang banyak angin nya. Tidak lama, ada bapak polisi memanggil ku dan ibu di belakang ku untuk ke ruang foto. Mengantri sebentar, ada yang sedang dibicarakan, yaitu anak yang belum genap 17 tahun,mau bikin SIM. 17 tahun nya masih besok Agustus. Maka ibu dan anak itu dipahamkan baru boleh datang kembali pada Agustus untuk mengambil SIM nya.

Aku dipanggil! Dikonfirmasi data terbaru ku, nama, TTL, alamat, termasuk pekerjaan (data pekerjaan ku berubah dong dalam 5 tahun ini). Lalu pengambilan sidik jari, tanganku dibasahi hand sanitizer, lalu setiap jari ditempelkan ringan ke sebuah alat kotak berlayar hijau. Setelah itu, tanda tangan di alat kotak berlayar terang. Kemudian foto.

Aku pakai jilbab pink kali ini. Mukaku berminyak, sudah siang, dan aku tidak mengantisipasi jika harus foto SIM hari ini juga. Kupikir tadi kan sudah siang, jadi aku tanya tanya dulu aja prosedur nya gimana, sambil nyicil nyiapin dokumen yang dibutuhkan. Surat-surat tes itu. Eeeeh, jadinya begini. Malah kebeneran sih, sehari bisa langsung jadi. Walaupun dengan jilbab pink, wajah klumut. (Padahal semalam udah berencana mau pakai jilbab merah dan sebelum foto wajib kudu skincare an dulu. Minimal peeling, masker,dan pelembab/krim. Sukur sukur pas mau foto sempet bedakan tipis, biar bening.) Ahahah, namanya aja aku.

Habis foto, mbak polisi mengarahkan ku untuk menunggu di belakang. Aku pun duduk di kursi tunggu tadi. Tapi eh, celingak-celinguk, kok temen ngantri ku tadi nggak ada. Bener nggak ya aku nunggu di sini? Akhirnya aku ke ruangan utama tadi, thingak-thinguk mencari petunjuk dimana loket selanjutnya. Sampai kemudian ada bapak polisi keluar dari salah satu loket, ku cegat, ku tanyai. Ternyata yang dimaksud belakang itu di luar, guys. Ahahahaha. Nggak berani tanya sama petugas di loket foto tadi, karena walaupun ramah, tapi kelihatan sekali kalau mereka sibuk.

Aku pun keluar, menuju loket pengambilan SIM. Malu-malu kutanyakan SIM ku. Bu polisi dengan wajah penuh senyum bilang, "Tadi saya panggil panggil lho mbak"
Hehe, ku jawab jujur.. "nggak tau belakang itu sini Bu, saya malah ke tengah tadi"
Lalu aku berterimakasih dan berpamitan. Sambil kulihat SIM ku, kulihat fotonya maksudnya, aku berjalan menuju parkiran. Waktu tertera di HP pukul 11.55. Ambil motor di parkiran, mahar dua ribu lagi. Beres urusan SIM, aku pulang ke asrama. Lalu menuliskan ini semua.

Total 200.000 keluar hari ini untuk memperpanjang SIM. Ini situasi ku di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, akhir Maret tahun 2021, ya, Guys.

20.000 untuk isi bensin 🤐
1000 untuk fotokopi (ternyata yang dibutuhkan fotokopi KTP 3 dan SIM 1)
50.000 untuk tes kesehatan
50.000 untuk tes psikologi
2000 untuk parkir di lokasi tes
75.000 untuk biaya pembuatan SIM yang masuk ke penerimaan negara bukan pajak
3000 untuk top up e-money yang buat bayar 75.000 ke negara itu
2000 untuk parkir di Polres
Sisanya masih ada recehan buat beli susu ultra rasa Taro 😂

(((Mau nyelipin foto ultra milk rasa Taro di sini, tapi bingung caranya, soalnya pakai HP ini. Dulu ada pilihan nya sisipkan foto. Sekarang pindah ke mana yak?)))

Mbareng tak pikir pikir, aku ncen Ra bakat dadi wartawan yaw.

Adoh adoh ngurus Perpanjangan SIM, direwangi pamit atasan, disengkakke pas Ono sak umprit wektu luang.. critane arep gawe konten blog.. eh lha, dokumentasi yang ada di HPku malah karton ultra milk penyet kegencet-gencet 😀

Alhamdulillah, bisa memperpanjang SIM dengan cepat dan dekat, tanpa harus pulang kampung dulu. KTP ku masih Klaten, bikin SIM di Magelang ternyata bisa bisa aja kok. Gampang juga dan biaya standar, nggak perlu calo sama sekali.

Fixed cost buat memperpanjang SIM di bulan Maret 2021 ini kurang lebih 50.000 untuk tes kesehatan, 50.000 untuk tes psikologi, 75.000 untuk biaya perpanjangan SIM. Jadi, Fixed cost nya sekitar 175.000. Biaya serba serbi nya tergantung pada kearifan lokal daerah masing-masing dan kondisi pribadi masing-masing, hihi. (Soalnya ada yang pakai laminating SIM, ada yang pakai asuransi lakalantas, dan entah apa lagi. Aku tadi sih ada biaya 3000 itu buat biaya transfer lah gampangnya)

Tadi, saat bingung ambil SIM nya dimana itu, aku malah menangkap tulisan, layanan perpanjangan SIM di kantor Polres Kabupaten Magelang, standar waktu nya 68 menit. Wow. Ada standar nya, Guys! Alhamdulillah sekarang kepolisian semakin ramah dan profesional. Di balik segala kekurangan, ada kebaikan nya juga.

Oya, dalam perjalanan menuju parkiran tadi, dari lantai 2 salah satu gedung, terdengar bapak-bapak polisi rame-rame kompak sholawatan. Nyeesss di hati.

Satu hal saja yang kusesalkan. Kenapa hari ini aku bikinnya. Karena jadinya masa aktif SIM ku kepotong maju sepekan. Untuk 5 tahun-5 tahun ke depan. Aturan emang tadi aku nanya dulu sih. Balik lagi nyeleseiin urusan pekan depan pas ulang tahun aja. Jadi gampang nginget-inget nya. Tapi yaudah, Alhamdulillah ala kulli hal. Ini yang terbaik, takdir Allah. Siapa tahu besok-besok dalam pekan ini mendadak sibuk kan? Sekarang udah beres SIM nya, nggak perlu dipikirkan lagi.

Well, aku nulis ini seperempat hari sendiri! Kalian baca berapa menit? Hehe

Jumat, 19 Maret 2021

Sebelum Lelap

 

Sisa Aqua itu
Semoga jadi jariyah kita
Sebab aku kini seorang guru
Sedang salah satu guru ku, Anda

Senin, 15 Maret 2021

Pria Bercadar


Kau mulia

Karena usahamu menjaga

Memang banyak goda

Kau memilih yang benar, dan aku bangga


Kadang aku heran

Orang tertentu begitu mudah dijatuhi hati

Hanya karena sekelebatan pandangan mata

Orang lainnya terlunta-lunta tanpa ada yang mau peduli

Meski menghias diri sedemikian rupa


Tapi aku mengerti

Segala ini adalah ujian

Siapa yang paling takwa

Siapa yang paling baik amalnya


Mumpung masih Corona

Tetaplah pakai masker mu, wahai pria

Sebab wanita juga punya mata

Dan virus tidak perlu repot-repot memilih inangnya.


Selasa, 09 Maret 2021

Sore yang Tenang

 Kamu tahu wajah sepasang orang tua yang anak gadisnya dilamar seorang pemuda?


Wajah itu beriap riap, matanya bercahaya indah. 


Apakah aku sudah durhaka, meredupkan lagi sinar di mata mereka?

Membuat hati mereka kecewa, setelah sebelumnya membubung tinggi dengan asa?


Apakah aku terlalu berani memutuskan nasibku sendiri? Apakah aku sudah melukai hati seseorang yang baik? Apakah aku terlalu sombong, sok dan terlalu meremehkan orang yang tidak sepaham, seperti katanya?


Apakah seharusnya aku menerima tawaran minyak yang ingin bermain dengan air?


Apakah ada doa atau luka orang yang menghambat bahagia ku sendiri?


Haruskah aku minta maaf dan menarik kembali keputusan lama itu?


Atau biarkan saja berlalu? Lalu sabar saja sampai ada yang datang lagi, yang jauh lebih baik dari yang sebelumnya, yang tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya? Dan mari kita saksikan cahaya itu berbinar kembali di kedua pasang mata mereka. Untuk selamanya. Akankah...?

Jumat, 05 Maret 2021

Aku dan Kerelawanan

Remaja yang kemarin setoran hafalan terakhir, adalah putra seorang relawan. Dia lahir ke dunia ketika ayahnya sedang diterjunkan di Aceh, Tsunami besar itu.

Tentara cahaya Muhammad ku, arti namanya. Jaisyu Nur Muhammadi. Ada yang hangat di pelupuk mata.

Tentu ada alasan kenapa aku membeli buku Jejak-jejak Kemanusiaan Sang Relawan ini. Alasan yang sama yang membuatku berbinar mengamati aktivitas mas-mas dan mbak-mbak SAR Klaten di RSPD, sewaktu aku mengurus lomba panjat dinding bersama keluarga ku di Emapal. Yang membuat ku begitu respek dengan Tim pencari Chandra, santri TPA Mipitan kami yang hilang di sungai. Yang membuat ku rela berhutang 75.000 kepada LKI kala itu, (kala biaya hidupku harus cukup dengan 200.000 sebulan) demi mengikuti pelatihan Relindo/FSLDK. Yang membuat ku begitu sayang pada kaos hitam-oranye itu walaupun gerah saat dipakai, kekecilan, dan slayer nya hilang, jatuh di jalan suatu pagi antara kos Khotimah dan kosan baru Hana di Mendung. Yang membuatku amat bersemangat di Santika Solo, meskipun kemudian riwayat militansi itu berujung dengan pamit pindahan. Yang mendorongku membubuhkan Korsad dalam sepenggal tulisan ku yang masuk antologi warna biru ungu itu.

Alasan, yang menghangatkan mata dan hati.

Buku ini ditulis oleh seorang relawan senior yang pernah kukenal lewat akh Firmansyah Abakar. Beliau adalah dosen nya di Bali sana. Dan sekarang mengajar di USU. Ahli drone dan kehutanan. Aku menyimak sepak terjang beliau. Aku tahu, bapak itu, setiap ada bencana di mana saja, pasti berangkat ke sana dan turun tangan. Begitu tahu Pak Siddik nulis buku, aku ambil kesempatan menyerap energi beliau lewat membeli bukunya. Dan tentu dibaca insyaallah.

Buku ini tersedia di perpustakaan Bu Ridla. Kusediakan untuk bisa dibaca lebih banyak orang. Sekarang minimalnya remaja remaja itu, yang rajin nongkrong di tangga depan asrama ku.

Syukur ya Allah, syukur... Cita-cita ku punya perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum ini sudah terwujud. Aku ingin mencerahkan, mencerdaskan, menginspirasi. Belum mampu lewat tulisan atau acara yang kuisi, maka bisa saja lewat tulisan orang yang terseleksi. Semoga jadi jariyah. Semoga Allah Ridha.