Malam ini, di kamar Putri (Sidomulyo)—begitulah roda hidup
berputar, untuk sekarang-sekarang ini daku tak punya kamar lagi, hiks—, aku
menyesali keputusanku dulu mengambil jurusan Komunikasi. Benar-benar menyesal.
(Aduhai Putri, mengapakah kita ini, bahkan soal perabot pun sama-sama serba ijo
milihnya. Ibarat kata, “Kita begitu serupa dalam semua, kecuali dalam cinta.”
Wekeke, enggak juga ding. Kan masih banyak juga hal-hal yang berbeda diantara
kita. Cieeeh, buahasane.)
Apa pasal?
Semuanya sudah terlambat sekarang, susah diubah lagi, karena
waktu tak bisa ditarik ke belakang.
Yah, maaf, perbaiki topik.
Malam ini, aku menyesal kenapa dulu aku mengambil jurusan S1
Ilmu Komunikasi. Kenapa aku tidak percaya saja sama passion, sama hati nurani..? Ya, jelas, karena emang belom kebuka.
Belom bener-bener paham, bidang apa sebenarnya yang paling kuminati. Ya, kalau
gitu, kenapa coba enggak manut aja sama hasil yang tercantum di lembar sertifikat
hasil tes IQ, minat, dan bakat??!! Ya, jujur aja, waktu mau ndaftar SNAMPTN itu
aku benar-benar lupa. Nggak ingat kalau pernah ada tes semacam itu, dan apa
rekomendasi yang jadi kesimpulan di sehelai kertas itu. (Aku justru taklid buta
pada seorang trainer yang bilang setelah melihatku beberapa saat, mengajak
ngobrol beberapa kalimat dengan disaksikan oleh ratusan atau malah ribuan
peserta Try Out stan di GOR Gelarsena: cocok jadi guru SD, atau kalau ambil
ilmu komunikasi bagus juga. Kalau manajemen pak? Manajemen, hmmm,,, bisa
bisa...boleh itu. So, what? Alangkah tidak meyakinkannya. Dan aku begitu
percaya.) Baru sadar kembali beberapa waktu lalu ketika membongkar koper mengurus
administrasi-entah-apa, eh ga sengaja nemu sang pangeran sertifikat. Waktu
membaca ulang setiap patah katanya, rasanya badanku panas dingin. Ada sesuatu
yang bergejolak di dalam perut. Dan ada yang menggeletar di hati. Serta
berdesir di pembuluh-pembuluh darah.
Tulisannya kurang lebih... aku lupa. Tapi kayaknya sih
bagian kesimpulannya gini, pilihan jurusan: IPA. (Menakjubkan, secara sadar dan
sepihak, waktu kenaikan kelas aku nekat memilih sendiri untuk masuk IPS walau
nilaiku masih dipertimbangkan untuk bisa masuk IPA. Waktu itu aku punya
retorika yang hebat untuk membenarkan keputusanku. Sekarang, dah lupa tuh.
Hehehe.) Rekomendasi : 1, kuliah Psikologi. 2, kuliah Kedokteran. 3, kerja.
(Hebat nian yak kesimpulan hasil tes IQ-Minat-Bakat-ku?
Psikologi. Kedokteran! Aku aja heran.)
“Oh, pantas saja. Selama ini aku begitu tertarik membaca
artikel, buku-buku, hingga meme beraroma psikologi, dan kadang-kadang juga yang
nyerempet tentang kesehatan. Itu bahkan sudah direkomendasikan oleh pakar
psikologi (yah, okedeh, sebenarnya aku nggak tau persis itu pakar ato orang
ecek-ecek ato malah cuman software komputer) yang menilai hasil tes
IQ-Minat-Bakat-ku, sejak aku baru saja
kecemplung secara agak bodoh di sekolah terfavorit seantero kabupaten yang
rupanya malah membuat aku tidak menikmati apa yang biasanya dibilang orang
sebagai ‘masa SMA adalah masa yang paling indah’ karena disana, saking masih
laparnya aku pada pengetahuan di bidang psikologi—atau katakan sajalah, belum
punya konsep self acceptance-sebagai
tahap paling awal dalam menciptakan kebahagiaan-sama sekali—, dirikupun,
sedihnya, sempat menjadi korban bully.
Nggak tanggung-tanggung pulak, nyaris genap 3 tahun. Hiks.”
(OOOOyyy, kenapa ya kepana eh kenapa, kok sekarang aku sukak
banget pake hiks. Jadi kesimpulannya, tren ‘Rie’ minggu ini adalah penggunaan
diksi/kata ‘hiks’ sodara-sodara.)
Tapi lucunya waktu itu masih belum sadar juga. Masih
sempet-sempetnya aku bergalau ria menggagas masa depan.. bahkan membicarakannya
dengan ibu seolah-olah itu sudah keputusan finalku. Subhanallah..
Baru tepat malam ini, menjelang pergantian hari, aku
tersadar dan merasa benar-benar menyesal. Kenapa S1-ku harus Komunikasi coba?!
Selama ini, aku selalu merasa punya alasan yang kuat untuk
kuliah, menjalani semuanya dengan lapang dada, bahkan riang gembira. Hingga aku
lulus pun, sempat kerja juga, aku tidak pernah merasa ada yang salah dengan si
kece KOMUNIKASI. Padahal sebenarnya ada yang jauh lebih menggoda: namanya si
cakep PSIKOLOGI.
Inilah akibatnya sekarang. Tanpa sadar, aku sendiri adalah
obyek dari mantan calon penelitian (skripsi gagal maju atao PKM batal naik)
yang pernah kurencanakan untuk kulakukan: salah jurusan. Hebatnya,
ketidaksadaranku itu bertahan bahkan sampai hampir setahun dari aku lulus. Waw.
Totalnya tujuh tahun penuh.
Aku memang baik-baik saja selama kuliah, menikmati semua prosesnya,
karena tak kupungkiri aku memang suka seluk-beluk yang diuplek-uplek di
Komunikasi. Jarang sekali bolos kecuali kepepet, ngerjain setiap tugas dengan
usaha terbaik—yang kadar ‘terbaik’nya rada
fleksibel sih menyesuaikan prioritas, hehe—, berusaha jadi mahasiswa
yang aktif di kelas, di perpus, dan di internet demi ilmu, berjuang
menyelesaikan tugas akhir dengan berbekal idealisme. Benar-benar penuh tanggung
jawab, meski lulusnya tetap lama. Tapi aku mengingkari naluri. Itulah salahnya.
Psikologi. Passion-ku.
Sudah terlambat sekarang. Sudah terlambat kalau aku ingin
menjadi spesialis berwawasan global di bidang psikologi. Sebabnya, aku sudah
keduluan banyak tokoh lain yang melaju lebih dulu. Tujuh tahun prestisius-ku berlalu
begitu saja dengan gairah semu-ku belajar komunikasi. Oke oke, bukan semu lah,
hanya kedua.
Sumber daya terbatas. Itu saja alasanku. Dana bisa dibilang
tidak ada lagi, tapi masih sangat mungkin mengusahakan beasiswa. Waktu... yah,
kuakui aku sudah cukup tua, 24 tahun 2 bulan 15 malam. Waktuku entah masih
berapa lama lagi untuk hidup, tapi jelas waktu bebasku untuk menjadi pengelana
ilmu semata tanpa tanggung jawab berkeluarga seharusnya sudah tidak lama lagi.
Kekuatan, oh my God, sudah lama sekali ternyata aku berhenti olah raga, astaghfirullahal’adzim...
Semangat, ah kalau ini bisa diatur insyaallah. Yang pasti adalah, ini saatnya
aku harus lebih rasional.
Intinya...
Bismillah, lillah, billah, illallaah!
Lebih baik sekarang aku letakkan mimpi itu. Serahkan pada
mereka yang telah menggelutinya jauh lebih dulu. Zaman terus bergerak, dan aku
harus pula bergerak, menyesuaikan diri pada kebutuhan dari segalanya yang
selalu menuntut perbaikan.
Aku sudah jadi sarjana ilmu komunikasi. Aku tahu semuanya
penting di dunia ini, tidak ada yang tidak penting. Maka aku tidak akan
berkata-kata soal ban serep lagi. Aku terlanjur punya modal awal yang sama
sekali jauh dari buruk, maka modal ini harus dikembangkan lagi untuk memberikan
kontribusi yang lebih baik bagi perubahan ke arah yang lebih baik.
Spesialis berwawasan global. Tuhanku, takdirMu-lah yang
mengaturku harus mengupas bagian itu di bedah buku profil setahunan yang lalu.
TakdirMu pula lah yang mengaturku agar mendengar tentang itu bahkan, seingatku,
sejak 2009-an saat aku masih begitu culun,
reaktif, mudah digerakkan, dan serba ingin tahu. Hingga kini, tiga kata itu
mulai menancap dalam aliran darahku, menjadi semacam visi yang harus direalkan.
Spesialis berwawasan global. Memang sudah saatnya
dicanangkan. Apapun caranya. Aku, Rie, Sarjana Ilmu
Komunikasi, harus menjadi “Master Ilmu Komunikasi” dalam gelar internasional.
Suatu saat aku pun bisa saja menjadi Doktor, bahkan bukan tak mungkin menjadi
Profesor jika Kau mengijinkannya.
Kampus empat musim, di sekitaran akhir
musim panas atau awal musim gugur tahun 2016, dengan spesialisasi di bidang
yang sudah—dengan sedikit rasa terpaksa dan mau tak mau harus memaksa
diri—kuputuskan: KOMUNIKASI.
Agar setidak-tidaknya di dunia ini ada satu manusia yang
totalitas menjadi pakar komunikasi islam. Toh takdirMu jugalah yang dulu menjerumuskan
langkahku sampai bisa masuk kampus sebagai mahasiswa tulus dan keluar sebagai
sarjana bersemangat secara terhormat. Maka kuanggap ini yang terbaik. Karena
aku percaya, tuntunanMu dan segala takdirMu adalah selalu yang terbaik.
NB: Jika Engkau berkenan, ya Allah, izinkan aku suatu saat
nanti, dan sepanjang sisa hidupku, tetap bisa mencicipi ilmu psikologi, entah
apapun itu jenjangnya, apapun sumbernya, bagaimanapun caranya, formal informal atau
nonformal sekarang aku tidak peduli lagi. Sebab Engkau yang paling tahu siapa
aku.
Sekali lagi: nasi sudah menjadi bubur, maka ‘kan kupastikan
ia jadi bubur terenak yang pernah ada!
Kireina ‘istimewa,’ 15-16 Juni 2015, 01.15
Rie Ramadlani
*Fabi-ayyi aala irobbikuma tukadzdzibaan... jadi ini
alasannya... kenapa aku nggak jadi kerja di BMT Tumang karena-Mu... aku mulai
mengerti sekarang... aku harus fokus.. kudu logis... dan mesti realistis.
Terima kasih Tuhan. Kau bukakan mataku dengan cara terbaikMu. Jadikan aku
termasuk diantara golongan hamba-hambaMu yang beruntung, yang selalu bersyukur,
yang senantiasa berprasangka baik padaMu, dan tentu, yang hanya dan hanya
bergantung padaMu.