Who Amung Us

Sabtu, 27 Juni 2015

Meneguhkan Langkah Yang *Salah Arah*


https://pixabay.com/en/footsteps-sand-beach-foot-print-732128/

Malam ini, di kamar Putri (Sidomulyo)—begitulah roda hidup berputar, untuk sekarang-sekarang ini daku tak punya kamar lagi, hiks—, aku menyesali keputusanku dulu mengambil jurusan Komunikasi. Benar-benar menyesal. (Aduhai Putri, mengapakah kita ini, bahkan soal perabot pun sama-sama serba ijo milihnya. Ibarat kata, “Kita begitu serupa dalam semua, kecuali dalam cinta.” Wekeke, enggak juga ding. Kan masih banyak juga hal-hal yang berbeda diantara kita. Cieeeh, buahasane.)


Apa pasal?
Semuanya sudah terlambat sekarang, susah diubah lagi, karena waktu tak bisa ditarik ke belakang.
Yah, maaf, perbaiki topik. 

Malam ini, aku menyesal kenapa dulu aku mengambil jurusan S1 Ilmu Komunikasi. Kenapa aku tidak percaya saja sama passion, sama hati nurani..? Ya, jelas, karena emang belom kebuka. Belom bener-bener paham, bidang apa sebenarnya yang paling kuminati. Ya, kalau gitu, kenapa coba enggak manut aja sama hasil yang tercantum di lembar sertifikat hasil tes IQ, minat, dan bakat??!! Ya, jujur aja, waktu mau ndaftar SNAMPTN itu aku benar-benar lupa. Nggak ingat kalau pernah ada tes semacam itu, dan apa rekomendasi yang jadi kesimpulan di sehelai kertas itu. (Aku justru taklid buta pada seorang trainer yang bilang setelah melihatku beberapa saat, mengajak ngobrol beberapa kalimat dengan disaksikan oleh ratusan atau malah ribuan peserta Try Out stan di GOR Gelarsena: cocok jadi guru SD, atau kalau ambil ilmu komunikasi bagus juga. Kalau manajemen pak? Manajemen, hmmm,,, bisa bisa...boleh itu. So, what? Alangkah tidak meyakinkannya. Dan aku begitu percaya.) Baru sadar kembali beberapa waktu lalu ketika membongkar koper mengurus administrasi-entah-apa, eh ga sengaja nemu sang pangeran sertifikat. Waktu membaca ulang setiap patah katanya, rasanya badanku panas dingin. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam perut. Dan ada yang menggeletar di hati. Serta berdesir di pembuluh-pembuluh darah.

Tulisannya kurang lebih... aku lupa. Tapi kayaknya sih bagian kesimpulannya gini, pilihan jurusan: IPA. (Menakjubkan, secara sadar dan sepihak, waktu kenaikan kelas aku nekat memilih sendiri untuk masuk IPS walau nilaiku masih dipertimbangkan untuk bisa masuk IPA. Waktu itu aku punya retorika yang hebat untuk membenarkan keputusanku. Sekarang, dah lupa tuh. Hehehe.) Rekomendasi : 1, kuliah Psikologi. 2, kuliah Kedokteran. 3, kerja.

(Hebat nian yak kesimpulan hasil tes IQ-Minat-Bakat-ku? Psikologi. Kedokteran! Aku aja heran.)

“Oh, pantas saja. Selama ini aku begitu tertarik membaca artikel, buku-buku, hingga meme beraroma psikologi, dan kadang-kadang juga yang nyerempet tentang kesehatan. Itu bahkan sudah direkomendasikan oleh pakar psikologi (yah, okedeh, sebenarnya aku nggak tau persis itu pakar ato orang ecek-ecek ato malah cuman software komputer) yang menilai hasil tes IQ-Minat-Bakat-ku, sejak aku baru saja kecemplung secara agak bodoh di sekolah terfavorit seantero kabupaten yang rupanya malah membuat aku tidak menikmati apa yang biasanya dibilang orang sebagai ‘masa SMA adalah masa yang paling indah’ karena disana, saking masih laparnya aku pada pengetahuan di bidang psikologi—atau katakan sajalah, belum punya konsep self acceptance-sebagai tahap paling awal dalam menciptakan kebahagiaan-sama sekali—, dirikupun, sedihnya, sempat menjadi korban bully. Nggak tanggung-tanggung pulak, nyaris genap 3 tahun. Hiks.”

(OOOOyyy, kenapa ya kepana eh kenapa, kok sekarang aku sukak banget pake hiks. Jadi kesimpulannya, tren ‘Rie’ minggu ini adalah penggunaan diksi/kata ‘hiks’ sodara-sodara.)

Tapi lucunya waktu itu masih belum sadar juga. Masih sempet-sempetnya aku bergalau ria menggagas masa depan.. bahkan membicarakannya dengan ibu seolah-olah itu sudah keputusan finalku. Subhanallah..

Baru tepat malam ini, menjelang pergantian hari, aku tersadar dan merasa benar-benar menyesal. Kenapa S1-ku harus Komunikasi coba?!

Selama ini, aku selalu merasa punya alasan yang kuat untuk kuliah, menjalani semuanya dengan lapang dada, bahkan riang gembira. Hingga aku lulus pun, sempat kerja juga, aku tidak pernah merasa ada yang salah dengan si kece KOMUNIKASI. Padahal sebenarnya ada yang jauh lebih menggoda: namanya si cakep PSIKOLOGI.

Inilah akibatnya sekarang. Tanpa sadar, aku sendiri adalah obyek dari mantan calon penelitian (skripsi gagal maju atao PKM batal naik) yang pernah kurencanakan untuk kulakukan: salah jurusan. Hebatnya, ketidaksadaranku itu bertahan bahkan sampai hampir setahun dari aku lulus. Waw. Totalnya tujuh tahun penuh.

Aku memang baik-baik saja selama kuliah, menikmati semua prosesnya, karena tak kupungkiri aku memang suka seluk-beluk yang diuplek-uplek di Komunikasi. Jarang sekali bolos kecuali kepepet, ngerjain setiap tugas dengan usaha terbaik—yang kadar ‘terbaik’nya rada  fleksibel sih menyesuaikan prioritas, hehe—, berusaha jadi mahasiswa yang aktif di kelas, di perpus, dan di internet demi ilmu, berjuang menyelesaikan tugas akhir dengan berbekal idealisme. Benar-benar penuh tanggung jawab, meski lulusnya tetap lama. Tapi aku mengingkari naluri. Itulah salahnya.

Psikologi. Passion-ku.

Sudah terlambat sekarang. Sudah terlambat kalau aku ingin menjadi spesialis berwawasan global di bidang psikologi. Sebabnya, aku sudah keduluan banyak tokoh lain yang melaju lebih dulu. Tujuh tahun prestisius-ku berlalu begitu saja dengan gairah semu-ku belajar komunikasi. Oke oke, bukan semu lah, hanya kedua.

Sumber daya terbatas. Itu saja alasanku. Dana bisa dibilang tidak ada lagi, tapi masih sangat mungkin mengusahakan beasiswa. Waktu... yah, kuakui aku sudah cukup tua, 24 tahun 2 bulan 15 malam. Waktuku entah masih berapa lama lagi untuk hidup, tapi jelas waktu bebasku untuk menjadi pengelana ilmu semata tanpa tanggung jawab berkeluarga seharusnya sudah tidak lama lagi. Kekuatan, oh my God, sudah lama sekali ternyata aku berhenti olah raga, astaghfirullahal’adzim... Semangat, ah kalau ini bisa diatur insyaallah. Yang pasti adalah, ini saatnya aku harus lebih rasional.

Intinya...

Bismillah, lillah, billah, illallaah!
Lebih baik sekarang aku letakkan mimpi itu. Serahkan pada mereka yang telah menggelutinya jauh lebih dulu. Zaman terus bergerak, dan aku harus pula bergerak, menyesuaikan diri pada kebutuhan dari segalanya yang selalu menuntut perbaikan.

Aku sudah jadi sarjana ilmu komunikasi. Aku tahu semuanya penting di dunia ini, tidak ada yang tidak penting. Maka aku tidak akan berkata-kata soal ban serep lagi. Aku terlanjur punya modal awal yang sama sekali jauh dari buruk, maka modal ini harus dikembangkan lagi untuk memberikan kontribusi yang lebih baik bagi perubahan ke arah yang lebih baik.

Spesialis berwawasan global. Tuhanku, takdirMu-lah yang mengaturku harus mengupas bagian itu di bedah buku profil setahunan yang lalu. TakdirMu pula lah yang mengaturku agar mendengar tentang itu bahkan, seingatku,  sejak 2009-an saat aku masih begitu culun, reaktif, mudah digerakkan, dan serba ingin tahu. Hingga kini, tiga kata itu mulai menancap dalam aliran darahku, menjadi semacam visi yang harus direalkan.

Spesialis berwawasan global. Memang sudah saatnya dicanangkan. Apapun caranya. Aku, Rie, Sarjana Ilmu Komunikasi, harus menjadi “Master Ilmu Komunikasi” dalam gelar internasional. Suatu saat aku pun bisa saja menjadi Doktor, bahkan bukan tak mungkin menjadi Profesor jika Kau mengijinkannya.

Kampus empat musim, di sekitaran akhir musim panas atau awal musim gugur tahun 2016, dengan spesialisasi di bidang yang sudah—dengan sedikit rasa terpaksa dan mau tak mau harus memaksa diri—kuputuskan: KOMUNIKASI.

Agar setidak-tidaknya di dunia ini ada satu manusia yang totalitas menjadi pakar komunikasi islam. Toh takdirMu jugalah yang dulu menjerumuskan langkahku sampai bisa masuk kampus sebagai mahasiswa tulus dan keluar sebagai sarjana bersemangat secara terhormat. Maka kuanggap ini yang terbaik. Karena aku percaya, tuntunanMu dan segala takdirMu adalah selalu yang terbaik.

NB: Jika Engkau berkenan, ya Allah, izinkan aku suatu saat nanti, dan sepanjang sisa hidupku, tetap bisa mencicipi ilmu psikologi, entah apapun itu jenjangnya, apapun sumbernya, bagaimanapun caranya, formal informal atau nonformal sekarang aku tidak peduli lagi. Sebab Engkau yang paling tahu siapa aku.

Sekali lagi: nasi sudah menjadi bubur, maka ‘kan kupastikan ia jadi bubur terenak yang pernah ada!

Kireina ‘istimewa,’ 15-16 Juni 2015, 01.15
Rie Ramadlani

*Fabi-ayyi aala irobbikuma tukadzdzibaan... jadi ini alasannya... kenapa aku nggak jadi kerja di BMT Tumang karena-Mu... aku mulai mengerti sekarang... aku harus fokus.. kudu logis... dan mesti realistis. Terima kasih Tuhan. Kau bukakan mataku dengan cara terbaikMu. Jadikan aku termasuk diantara golongan hamba-hambaMu yang beruntung, yang selalu bersyukur, yang senantiasa berprasangka baik padaMu, dan tentu, yang hanya dan hanya bergantung padaMu.

Bahagia Apapun Pencapaiannya

diambil dari http://health.detik.com/read/2013/04/25/103252/2229984/763/gampang-lupa-kepalkan-tangan-agar-otak-lebih-mudah-mengingat
Setiap pencapaian pasti sesuai dengan  apa yang sudah diusahakan.
Dan setiap ujian pasti sudah disesuaikan dengan level peserta yang  menempuhnya.
Tidak ada yang 100% sama.
Maka tidak ada yang perlu dibanding-bandingkan.

Sahabatku, senang rasanya jika ada diantaramu yang  sempat menemukan luahan hatiku ini. Kamu beruntung, karena tidak semua yang dekat denganku bisa mendapatkan kesempatan itu. Kamu juga beruntung, karena kalaupun kamu tidak atau belum dekat denganku, kamu malah sudah ikut menikmati percikan perenunganku ini.

Dulu, tak jarang aku merasa nelangsa ketika melihat salah satu dari kita meraih sesuatu, terutama jika raihan itu adalah hal yang sangat ingin kuraih juga. Tidak jarang aku merasa dunia ini tidak adil; betapa di saat aku merelakan diri berkorban demi raihan kita bersama, bahkan demi kebersamaan kita, eh malah aku  yang ditinggal. Dan memang sampai sekarang aku masih menjadi yang paling tertinggal, dipandang dari sisi manapun.

Itu iri. Di satu sisi aku ikut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang yang kupedulikan. Tapi di sisi lain aku tak rela bahwa kebahagiaan itu bukan aku sendiri yang mencicipinya terlebih dahulu. Apapun alasannya, iri adalah penyakit hati, aku tahu. Dengan adanya rasa iri itu, sulit bagiku menemukan bahagia, meski apa yang kupunya sebenarnya lebih dari yang orang lain rasa.

Tapi kemudian aku sadar, pencapaian yang kita raih sejatinya adalah pilihan kita masing-masing. Prestasi berupa nilai tinggi , IPK cumlaude, kemenangan di perlombaan tertentu, kelulusan tepat waktu, pekerjaan yang bagus, gaji yang mencukupi, cinta dalam pernikahan yang indah, keluarga yang harmonis, tempat tinggal yang mandiri, layak, nyaman, dan tenteram, anak yang menyenangkan dan menyejukkan hati, kebebasan yang menenteramkan, petualangan yang menarik, pengalaman hidup yang penuh kesan,  atau.. sesuatu yang lain yang sulit untuk dijelaskan...

Semua itu sah untuk dipilih sebagai pencapaian diri. Begitupun aku. Aku punya pilihanku sendiri. Tiap-tiap kita punya hak untuk itu. Kebahagiaan. Itu satu kata yang kita cari bersama, meski ada begitu banyak pilihan jalan yang bisa kita ambil untuk menemukannya.

Sesekali menanjak, sesekali menurun, sesekali beristirahat di stasiun persinggahan, sesekali juga berbelok, namun tetap dalam relnya. Rel kita. Karena kereta kita akan kita bawa ke tujuan yang sudah sejak lama kita rencanakan.

Kini, aku sudah benar-benar rela kalian  sampai di sana. Dan aku cukup  bahagia dengan pencapaianku sendiri. Dengan  kecepatanku sendiri. Dengan usahaku sendiri, cucuran keringatku sendiri. Dengan lika-liku indah-ku sendiri, takdirNya yang selalu dan akan selalu adalah yang terbaik untukku. Dengan segala hal yang khas-ku. Aku PUAS dengan SEMUANYA.

Lihat saja, aku juga akan SAMPAI di sana.. meski tempatku barangkali memang berbeda.

Terima kasih dunia.. Aku lega dengan memegang janjiNya.

151013        03.26        ruangtamu, beriring takbir