Who Amung Us

Jumat, 30 Agustus 2013

KATA HATI


Bukan ia batu
Bukan mesin, bukan mesiu
Ia manusia
Sepertimu

                Ingin sama dalam ilmu
                Ingin sama dalam karya
                Ingin sama dalam dialektika
                Ingin sama dalam takwa
                Ingin sama dalam guna

Dan di dalam
Tak ingin pula fitrah-fitrah ditinggalkan
Sebabnyalah ia dimuliakan

Tak perlu mahkota berpermata atau singgasana bertatah mutiara
Tidak pengaguman, pengagungan, apalagi penguasaan
Tak pula takhta menikam ego mulia

Cukup pelibatan sebagai manusia
Adil
Sewajarnya
Dalam persaudaraan semesta



ruangbiru 22.37 010413

Marahmu, Kendalikan!


Bondan pulang sekolah dengan keringat bercucuran. Hatinya panas, sepanas matahari siang itu. Ia sedang kesal karena ban sepedanya bocor di tengah jalan, padahal uang sakunya terlanjur habis untuk jajan. Terpaksa ia tuntun sepedanya sampai rumah. Sesampainya di rumah, ia ingin langsung makan lalu tidur karena lapar dan kelelahan. Akan tetapi, dilihatnya meja makan kosong melompong. Tanpa pikir panjang, jambangan bunga ibunya dibanting hingga pecah berkeping-keping. Sejam kemudian, kakaknya datang dengan membawa bungkusan makanan. Orang tua mereka memang sedang keluar kota, tapi Bondan lupa karena terbakar emosi.

Bandingkan dengan kisah yang ini. Suatu hari di sebuah tempat ibadah, datang seorang laki-laki dari kampung nun jauh di pelosok negeri. Tanpa menghiraukan orang-orang yang tengah berkumpul, ia buang air di sudut bangunan. Para jamaah kaget dan siap menghajar laki-laki ngawur itu. Tetapi dengan sigap pimpinan mereka ambil tindakan. Jamaah yang sedang marah ditenangkan, orang kampung tadi dibiarkan menuntaskan hajatnya terlebih dahulu, lalu diajak bicara dengan wajah penuh senyuman bercahaya.

ruang tersembunyi yang adeeem bgt, gambar browsing dari google dgn kata kunci 'es', hehehe

“Ah, kita kan tak selevel dengan Nabi,” tukasmu sinis. “Kalau Nabi, wajarlah bisa tak marah sama sekali!”

Ya, cerita yang kedua memang cuplikan dari kisah hidup Nabi kita. Tapi hei, bukan berarti karena kita bukan Nabi lantas kita pantas marah-marah seenak hati. Justru kemarahan itu tantangan besar yang harus ditaklukkan oleh diri kita sendiri.

Ngomong-ngomong soal marah, jadi ingin merenungi hidupku sendiri. Aku dulu gampang marah. Parahnya, sekali aku marah, kemarahan itu tercetak nyata di wajah, suara, dan semua gerak-gerikku. Tak jarang ini menimbulkan masalah baru.

Hingga pada suatu hari, aku menemukan cara untuk menenangkan diri. Jika sedang marah, aku membayangkan sebuah ruangan yang gelap dan sepi. Tempat yang tak pernah terjamah orang lain, ia sepenuhnya milikku. Di sana sangat aman, aku bebas menyembunyikan segala aib, rahasia, asa, dan juga cinta :) Termasuk pula rasa marah, entah itu yang memang seharusnya ada, maupun yang tak seharusnya ada. Tempat itu ada di salah satu sudut dalam hatiku.

Pemikiran ini mulai muncul sejak aku mengikuti salah satu training kepemimpinan. Di sana, ada yang diam-diam menancap begitu dalam di benakku; nasehat bijak seorang kakak. Kala itu, dia sang pembicara bertutur pada forum, “Seorang pemimpin harus selalu punya ruang tersembunyi dalam dirinya untuk menyembunyikan segala kekecewaan.”

Jlebb. Begitu saja pesan itu menikam pusat memori di hatiku. Tanpa penolakan, tidak ada bantahan, tak sempat terbersit sedikitpun keragu-raguan. Aku yang pada saat itu tergolong orang yang sangat mudah marah, mendadak memiliki  paradigma baru tentang kemarahan. Bahwa ternyata, tidak selalu kita berhak marah untuk apapun yang kita mau. Benarlah kata pembicara itu..

Saudaraku, sejatinya setiap kita adalah pemimpin. Minimal pemimpin bagi diri kita sendiri. Yang namanya pemimpin itu pasti akan selalu besinggungan dengan berbagai urusan di luar dirinya. Ada yang tidak sepakat atas keputusan yang kita buat. Banyak orang tidak melakukan apa yang menurut kita ‘seharusnya…’. Saat kita mengajukan ide untuk perubahan yang positif, ada saja yang tidak memahami maksud baik kita dan justru menyalahkannya.  Bisa juga tiba-tiba seseorang datang dan menghancurkan sebuah rencana sempurna, padahal awalnya dia tidak ada hubungannya dengan rencana kita.

Kecewa. Marah. Lantas itu yang muncul? Wajar. Sangat manusiawi jika rasa itu hadir. Namun bukan berarti kita boleh kalah pada amarah, lalu emosi diperturutkan hingga kemudian segalanya jadi makin berantakan.
Setidaknya, jaga agar muka jelekmu tidak tertangkap oleh mata-mata lugu tak bersalah yang sedang punya urusan lain juga denganmu. Mereka tak layak jadi tempat pelampiasan marah itu. Janganlah kau cederai hati mereka. Ditambah lagi, kau harus ingat bahwasanya hati tiap-tiap orang  itu tidak sama tekstur serta kerapuhannya.

Ada kotak peredam kecil dalam diri kita—yang—bila digunakan sebagaimana mestinya, kita akan merasa jauh lebih baik di dalam, dan yang  di luar juga bisa berjalan dengan lebih mulus tertata. Kotak peredam ini hanya bisa dioperasikan oleh pemiliknya sendiri. Kalau ia berfungsi dengan baik, secara psikologis kita akan merasa jauh lebih tenang, mampu menjadi jernih dalam memandang persoalan. Dalam kehidupn sosial, kita akan dikelilingi oleh orang-orang yang ternyata bisa lebih menyenangkan daripada yang kita kenal sebelumnya, padahal orang-orangnya sama. Dan bukan mustahil, prestasi dan karir kita akan melejit bahkan tanpa diduga-duga. Itulah dahsyatnya manfaat pengendalian emosi.

So, jangan mau terus-terusan jadi orang pemarah. Kalau kau mulai marah, temukan segera kotak peredam itu, lalu gunakanlah pada saat yang tepat. Tidak sulit melakukannya, asal kau tidak lupa minta Tuhan memudahkannya.

Terima kasih banyak untukmu yang sudah sudi menyempatkan diri membaca coretan ini. Dan salam semangat untuk Orang Sanguinis dimanapun berada. Calm down ^_^
Untuk diriku sendiri yg selalu saja diuji..


Rie Ramadlani, thanks to Bakarsateflp 250813 13.00

Kamis, 29 Agustus 2013

Di Atas Awan

Aku menyukai lagu-lagu. Salah satunya ini,


"Cinta satukan hati
Kuatkan jiwa menghadapi dunia
Segala cinta dan luka
Kuatkan semua persahabatan
Kita penantang impian
Di atas awan kita kan menang
Kita penakluk dunia
Di atas awan kita kan menang, menang
Bila kau merasa sedih
Ingatlah bahwa kau tak sendiri
Tanpamu tak akan sama, tanpamu semua berbeda
Kisahmu juga kisahku, selalu bersama
Kita penantang impian
Di atas awan kita kan menang
Kita penakluk dunia
Di atas awan kita kan menang, menang
Melangkah di bawah mentari yang sama
Mencari tempat kita di masa depan
Berjanji kita tak akan putus asa
Walaupun semua tak akan mudah
Kita penantang impian
Di atas awan kita kan menang
Kita penakluk dunia
Di atas awan kita kan menang"
-Nidji, Di Atas Awan (OST 5cm)





Tanpamu tak akan sama, tanpamu semua berbeda


Melangkah di bawah mentari yang sama
Mencari tempat kita di masa depan
Berjanji kita tak akan putus asa
Walaupun semua tak akan mudah



Kemarau


Kemarau musim yang menyenangkan; jemur cucian setengah hari langsung kering, setiap dini hari tangan dan kaki benar-benar terasa dingin, dan ada kegiata rutin menyiram bunga-bunga serta tanah di rumah serta halaman.

Kemarau musim yang menyenangkan, meski setiap harinya ada lebih banyak debu yang harus lebih rajin disapu.

Kemarau musim yang menyenangkan, karena selain jambu dan pepaya jadi lebih manis ketimbang biasanya, aroma halaman yang disiram juga tak perlu absen lama dari indera penciuman.

#

Cintai apa yang ada. Kita akan mudah menjadi bahagia.

Selasa, 27 Agustus 2013

Jadi Ama

Sekarang, sedikit-sedikit dipanggil Ama. Ama, sama levelnya dengan Tante, Bulik, Bibi, Auntie, dsb. Jalan sedikit, ngelirik sedikit, noleh sedikit, nyapa sedikit, eh..ketemu deh sama keponakan.

Ternyata, aku sudah tua..
Jadi makin menyadari, setiap yang bernyawa akan merasakan mati.

Terima kasihku untuk kalian, para pemilik mata penuh binar.
Polos tatapan itu telah mengingatkanku pada usiaku yang berangsur merayap mendekati uzur,
menegurku tentang tumpukan tanggung jawab yang belum tertunaikan,
tentang betapa lalainya aku mempersiapkan hidup baruku selepas kematian yang cepat atau lambat pasti akan menemuiku.

#

imajinasi berkelana:
"Eh, ada Ama.. Assalamu'alaikum Ama!!" <=> "Lik, sampeyan suk bakal mati lho, Lik!"
kemungkinan respon:
"..deu, ini balita satu, sholihah ya Ndhuk.." <=> "..Astaghfirullah, astaghfirullah, ALLAH.."

sudutbiru 270813 20.50

Senin, 26 Agustus 2013

Zona-Zonaan

Ayo keluar dari zona nyaman!
Kalimat ini tak jarang kita dengar di pelatihan-pelatihan atau seminar berbau motivasi. Artinya jelas, berhentilah berleha-leha dan coba mulai bekerja keras untuk sesuatu yang ingin kamu capai. 

Namun menurutku, seharusnya begini kalimatnya, "Ayo keluar dari zona tak nyaman!" Sebab aku percaya, orang yang 'belum bekerja keras untuk sesuatu yang ingin dicapainya' itu tidak merasa nyaman dalam zonanya. Ketika seseorang tahu dirinya menginginkan sesuatu, dia tentu gelisah dan tidak tenteram untuk terus diam saja.
   

Bukankah secara naluriah manusia selalu ingin bahagia? Impian yang tidak direalisasikan, itu kan tidak membuat senang. Tidak senang, tidak nyaman. Berarti sebenarnya orang yang di luar tampak tenang-tenang saja tanpa mau bersusah payah itu tidak merasa nyaman dalam hatinya.

Dia tidak bahagia.

Untuk menjadi bahagia, hanya ada satu jalan : berusaha! Tetapi tidak selesai sampai di sana saja, karena setiap usaha akan ada hasilnya. Setiap hasil, bisa jadi intinya cuma dua, gagal, atau sukses. Dan, hanya ada dua sikap untuk senantiasa merasa bahagia, yaitu sabar dan syukur. 

Disanalah, bahagia itulah, esensi dari peralihan antara zona tak nyaman ke zona nyaman, atau yang dengan aneh justru lebih sering disebut sebagai 'peralihan dari zona nyaman ke zona tak nyaman'.

Nah. Mau zona nyaman (atau tak nyaman?) ? Lakukan saja sekarang!


bedhugklewer - 250813 - 14.14