Bondan pulang sekolah dengan
keringat bercucuran. Hatinya panas, sepanas matahari siang itu. Ia sedang kesal
karena ban sepedanya bocor di tengah jalan, padahal uang sakunya terlanjur
habis untuk jajan. Terpaksa ia tuntun sepedanya sampai rumah. Sesampainya di
rumah, ia ingin langsung makan lalu tidur karena lapar dan kelelahan. Akan
tetapi, dilihatnya meja makan kosong melompong. Tanpa pikir panjang, jambangan
bunga ibunya dibanting hingga pecah berkeping-keping. Sejam kemudian, kakaknya
datang dengan membawa bungkusan makanan. Orang tua mereka memang sedang keluar
kota, tapi Bondan lupa karena terbakar emosi.
Bandingkan dengan kisah yang ini.
Suatu hari di sebuah tempat ibadah, datang seorang laki-laki dari kampung nun
jauh di pelosok negeri. Tanpa menghiraukan orang-orang yang tengah berkumpul, ia
buang air di sudut bangunan. Para jamaah kaget dan siap menghajar laki-laki ngawur itu. Tetapi dengan sigap pimpinan
mereka ambil tindakan. Jamaah yang sedang marah ditenangkan, orang kampung tadi
dibiarkan menuntaskan hajatnya terlebih dahulu, lalu diajak bicara dengan wajah
penuh senyuman bercahaya.
 |
ruang tersembunyi yang adeeem bgt, gambar browsing dari google dgn kata kunci 'es', hehehe |
“Ah, kita kan tak selevel dengan
Nabi,” tukasmu sinis. “Kalau Nabi, wajarlah bisa tak marah sama sekali!”
Ya, cerita yang kedua memang
cuplikan dari kisah hidup Nabi kita. Tapi hei, bukan berarti karena kita bukan
Nabi lantas kita pantas marah-marah seenak hati. Justru kemarahan itu tantangan
besar yang harus ditaklukkan oleh diri kita sendiri.
Ngomong-ngomong soal marah, jadi ingin merenungi hidupku sendiri. Aku dulu gampang
marah. Parahnya, sekali aku marah, kemarahan itu tercetak nyata di wajah,
suara, dan semua gerak-gerikku. Tak jarang ini menimbulkan masalah baru.
Hingga pada suatu hari, aku menemukan
cara untuk menenangkan diri. Jika
sedang marah, aku membayangkan sebuah ruangan yang gelap dan sepi. Tempat yang tak pernah terjamah
orang lain, ia sepenuhnya milikku. Di sana sangat aman, aku bebas
menyembunyikan segala aib, rahasia, asa, dan juga cinta :) Termasuk pula rasa
marah, entah itu yang memang seharusnya ada, maupun yang tak seharusnya ada.
Tempat itu ada di salah satu sudut dalam hatiku.
Pemikiran ini mulai muncul sejak
aku mengikuti salah satu training kepemimpinan. Di sana, ada yang diam-diam
menancap begitu dalam di benakku; nasehat
bijak seorang kakak. Kala itu, dia sang pembicara bertutur pada forum, “Seorang
pemimpin harus selalu punya ruang tersembunyi dalam dirinya untuk
menyembunyikan segala kekecewaan.”
Jlebb. Begitu saja pesan itu
menikam pusat memori di hatiku. Tanpa penolakan, tidak ada bantahan, tak sempat
terbersit sedikitpun keragu-raguan. Aku yang pada saat itu tergolong orang yang
sangat mudah marah, mendadak memiliki
paradigma baru tentang kemarahan. Bahwa ternyata, tidak selalu kita
berhak marah untuk apapun yang kita mau. Benarlah kata pembicara itu..
Saudaraku, sejatinya setiap kita adalah
pemimpin. Minimal pemimpin bagi diri kita sendiri. Yang namanya pemimpin itu pasti akan
selalu besinggungan dengan berbagai urusan di luar dirinya. Ada yang tidak
sepakat atas keputusan yang kita buat. Banyak orang tidak melakukan apa yang
menurut kita ‘seharusnya…’. Saat kita mengajukan ide untuk perubahan yang
positif, ada saja yang tidak memahami maksud baik kita dan justru
menyalahkannya. Bisa juga tiba-tiba
seseorang datang dan menghancurkan sebuah rencana sempurna, padahal awalnya dia
tidak ada hubungannya dengan rencana kita.
Kecewa. Marah. Lantas itu yang
muncul? Wajar. Sangat manusiawi jika rasa itu hadir. Namun bukan berarti kita
boleh kalah pada amarah, lalu emosi diperturutkan hingga kemudian segalanya
jadi makin berantakan.
Setidaknya, jaga agar muka jelekmu tidak tertangkap oleh
mata-mata lugu tak bersalah yang sedang punya urusan lain juga denganmu. Mereka
tak layak jadi tempat pelampiasan marah itu. Janganlah kau cederai hati mereka. Ditambah lagi, kau
harus ingat bahwasanya hati tiap-tiap orang
itu tidak sama tekstur serta kerapuhannya.
Ada kotak peredam kecil dalam
diri kita—yang—bila digunakan sebagaimana mestinya, kita akan merasa jauh lebih
baik di dalam, dan yang di luar juga
bisa berjalan dengan lebih mulus tertata. Kotak peredam ini hanya bisa
dioperasikan oleh pemiliknya sendiri. Kalau ia berfungsi dengan baik, secara psikologis kita
akan merasa jauh lebih tenang, mampu menjadi jernih dalam memandang persoalan.
Dalam kehidupn sosial, kita akan dikelilingi oleh orang-orang yang ternyata
bisa lebih menyenangkan daripada yang kita kenal sebelumnya, padahal
orang-orangnya sama. Dan bukan mustahil, prestasi dan karir kita akan melejit
bahkan tanpa diduga-duga. Itulah dahsyatnya manfaat pengendalian emosi.
So, jangan
mau terus-terusan jadi orang pemarah.
Kalau kau mulai marah, temukan segera kotak peredam itu, lalu gunakanlah pada
saat yang tepat. Tidak sulit melakukannya, asal kau tidak lupa minta Tuhan
memudahkannya.
Terima kasih banyak untukmu yang sudah sudi
menyempatkan diri membaca coretan ini. Dan
salam semangat untuk Orang Sanguinis dimanapun berada. Calm down ^_^
Untuk diriku sendiri yg selalu saja diuji..
Rie Ramadlani, thanks to Bakarsateflp 250813 13.00