Who Amung Us

Minggu, 25 Juni 2017

Apa Kabar?

Kau apa kabar?
Masihkah seperti dulu, lembut dan tawadhu?

Bagaimana kondisi imanmu, sedang tebalkah, atau compang-camping sepertiku?

Bagaimana kesehatanmu, apa maag itu masih sering datang? Pola makan dan atau stres mu, apa masih jadi masalah besar?

Bagaimana kabar keuanganmu, masihkah royal seperti dulu? Darimana pendapatanmu? Apa kau sudah tenang di sana, atau masih ada gulana? Kemana prioritas uangmu kau arahkan?

Bagaimana kabar keluargamu? Sedikit sekali yang kutahu tentangnya, selain kabar buruk ayah ibumu pernah sakit waktu itu.

Bagaimana kabar optimisme, idealisme, dan impian-impianmu? Aku rindu menyimak semuanya. Aku tak tahu arah yang tepat untuk mengakses mereka.. Kemana? Dan bagaimana caraku bertanya?

Bagaimana kabar juz-juz yang kau hafalkan? Bertambahkah, stagnan, atau berkurang sepertiku?

Bagaimana kabar hatimu, masihkah ia jernih kau dengar, dan jernih mendengar hati lainnya? Masihkah ia sejuk dan menyejukkan.. Riang meringankan beban?

Aku rindu semua tentangmu.

Tapi aku takut aku tak berhak tahu.

Maka di sinilah aku
Bersajak dalam kesendirian
Entah sampai kapan                      

Kau pernah bilang, agraria lebih memikatmu ketimbang apa yang kau geluti saat itu. Aku ingin tahu, itu minat sesaat ataukah minat menetap? Apa pencapaian terbaikmu di sana, kapan? Sekarang, apa yang sedang kau perbuat? Kedepan, apa yang hendak kau bangun?

Aku ingin sampaikan langsung sebetulnya, lewat lisan dan tatap mata: jalani passionmu.. apapun itu, aku mendukungmu! Mungkin kita harus sakit dan jatuh bangun di sana, tapi bukankah bukan kesulitan yang akan dirasa, melainkan keseruan? Kenapa tidak, kan?

Kau pernah bilang, jangan dibudidayakan teriak-teriak begitu. Aku ingin kau menegurku selalu setiap kali aku mulai lepas kendali. Aku ingin jadi baik, salah satunya adalah versi baik yang kau sukai. Aku ingin kau menyeimbangkanku.. Walau aku belum tahu, apa aku bisa menyeimbangkanmu.

Kau pernah bilang terima kasih.. Emosional. Kita tak berani saling menatap, tak juga dekat-dekat. Terima kasihmu dalam, aku tahu. Karena itu, bahkan tak sanggup terucap maksud terima kasihmu. Tapi itu lebih dari cukup, sebab aku tahu. Seringkali, tanpa kata, kita sudah saling tahu. Semoga kau tahu, melepaskanmu dari beban berat itu adalah kehormatan besar bagiku. Melihatmu nyaman dengan dirimu, dengan hidupmu, dengan duniamu, sama dengan bahagiaku. Membuatmu percaya dirimu berharga, secara bersamaan adalah membangun harga diriku juga.

Jadi, ucapan terima kasihmu waktu itu, walau sebetulnya itu tak perlu, di saat yang sama membuatku lega dan berterima kasih pula padamu, pada semua, dan terlebih padaNya yang membuat segalanya terjadi. Sayang saat itu terlalu emosional. Kau hanya sanggup bilang terima kasih. Aku pun hanya mampu tersenyum, dan berbalik pergi. Malam membatasi kita, karena kita masih bukan siapa-siapa satu sama lain.

Kau pernah bilang, kan, kau lebih senang bila aku dihina dalam mujahadahku daripada aku dipuji dalam kelalaian.
Terima kasih. Pesan itu menancap dalam, menguatkanku dari dalam sewaktu aku hampir terjatuh. Terima kasih.

Kau pernah bertanya, how's life?

Dan sekarang aku ingin tanya juga, how's your life?

Sayangnya aku masih tidak tahu, bagaimana harus menanyakannya padamu.


Klaten, malam takbiran 1438

Tidak ada komentar:

Posting Komentar