Who Amung Us

Minggu, 12 Juli 2015

Masker Tomat

sumber : kuherbal.com (ilustrasi ini hasil googling juga lho)
Ternyata, efek pakai masker tomat itu mirip-mirip sama masker jeruk nipis. Perih-perih pating crekit. Tapi segar, dingin, pori-pori kulit seketika mengecil. Dan wajah terasa lebih kenyal.

Sebenarnya, aku sudah biasa mengoles-oleskan sisa buah apapun yang kumakan ke kulit wajahku, sejak kecil dulu, sesuai nasehat ibu. Entah itu tomat, pepaya, semangka, melon, timun, blewah, bengkoang, belimbing, pir, alpukat, kentang, pisang, bahkan juga apel, jambu air, jambu kluthuk, (Semoga tidak ada yang lantas terinspirasi untuk mencoba jambu monyet. Saranku, jangan!) srikaya, rambutan... Hasilnya? Kadang-kadang terjadi pliket di wajahku, hehehe. Lengket, lengket.. Kuanggap itu namanya sudah maskeran yang alami. Kemarin baru kusadari, kebiasaan itu belum terhitung serius untuk dibilang maskeran.

Bahan alami yang pernah kupakai maskeran--dengan serius--ada beberapa, antara lain telur (putihnya, kalau yang kuning belum pernah), madu, jeruk nipis. Lalu air cucian beras dan sisa cenceman teh, itu kadang-kadang kupakai juga untuk cuci muka, dan sudah kuanggap agak serius level 'perawatan'nya, lebih rutin pula. Hanya saja, aku belum pernah seserius kemarin menggunakan tomat.

Ceritanya begini, aku lagi iseng bikin sahur gara-gara nggak bisa tidur. Entahlah, kadang-kadang begini ini penyakitnya si penulis-wanna-be. Sudah mapan, merem, baca doa, dzikir, dicapek-capekin nggak tidur-tidur juga. Muter murottal sekalian buat hafalan, kadang bisa efektif membuatku jatuh tertidur tanpa sadar di tengah-tengah prosesnya, tapi kadang malah membuatku semakin bergairah untuk tetap terjaga, atau yang lebih parah, mulut melantunkan ayat-ayat murottal, tapi  otak berkelana ke mana-mana, trus ditambah jari-jari memencet sketsa coretandarurat di HP. Alhasil, semakin tidak bisa tidurlah daku. Eh ini apaan sih, kan topik ceritanya masker tomat, kok malah ngelanturin insomnia.

Back to the story. Aku mau masak sayur, ada bahan kacang panjang, ditambah metik bayam dan daun dewa dari kebun sendiri (meski gelap-gelap dingin di halaman, mana anak-anak  yang klothekan udah pada mulai keliling! Kan malu kalo konangan lagi 'ramban', hehe). 

Niatnya sih bikin sayur bening, tapi apadaya jadinya malah sayur asem yang tercecap di lidah. Pasalnya, seingatku masih ada tauge, tapi dicari-cari nggak ketemu, yang ada malahan tomat. Yaudah, pikirku tambahin tomat aja, sekalian biar warnanya agak meriah. Aku lupa memperhitungkan rasa kecutnya tomat bisa menulari kuah beningnya. Sebagaimana resep kesayanganku, cuma tak kasih bumbu bawang merah iris (no ulek, no geprek), garam, gula. Selesai! 

Nah, momen yang menimbulkan bencana sayur bening asem sekaligus karunia pengalaman maskeran, adalah setelah memasukkan potongan kacang panjang. Sambil menunggu kacangnya rada empuk, aku potong-potong aja tuh si tomat. Nah, berhubung sore sebelumnya adik keempatku sempat menegur yang intinya wajahku mulai tidak terawat, aku cari akal untuk memanfaatkan tomat itu. Kucacah si tomat di dalam piring, jadi piringnya bertindak sebagai pengganti talenan. Alasannya supaya air tomat terkumpul di piring dalam keadaan bersih. Kalau pakai talenan kan, ih, not worth it lah pokoknya.

Air sari tomat itulah yang kupakai. (Sampai sini, anggap saja sayurnya sudah matang, dan cukup skip aja sesi makan sahur barengnya. Lupakan!) Kalau biasanya yang kubilang maskeran tomat itu, aku ngemil buah tomat, trus setelah tinggal tersisa sedikit daging di bagian yang dekat tangkai, itu kan udah nggak gitu enak tuh, nah, daging tomat sedikit itu kuoles-oles di muka. Jadilah tidak terjadi apa-apa.

Kali ini, aku memakai air tomat berikut ekstrak dagingnya yang merah berbutir-butir agak kasar, produk sampingan dari mengiris tomat di dalam piring. Mukaku udah kuanggap bersih, karena sebelumnya udah dibersihkan plus pake scrub segala (teringat teguran adik). Langsung aja kucolek-colek air tomat itu, dan kuoleskan merata di seluruh bagian wajah. 

Amazing! Efeknya langsung berasa. Pertama semriwing, terus perih, clekit-clekit, adem. Berhubung adikku udah bangun dan dia bisa melanjutkan ngurus lauk, sementara akunya terlanjur maskeran nanggung, yaudah, kutinggal tiduran. Telentang, memanfaatkan gaya grafitasi untuk semakin mengoptimalkan peresapan zat-zat masker ke dalam kulit. Waktu masih menunjukkan jam 3.20-an. Dan ternyata ujung-ujungnya aku malah bablas ketiduran. =p

Menjelang jam 4, aku dibangunin adik. Semua anggota keluarga juga sudah bangun. Yah, lumayan lah, setidaknya aku dapet tidur setengah jam malam itu. Nyawaku ngumpul, dan mulai terasalah efek kencang di muka ngantuk-ku. Nah, pas cuci muka, wawh, lembutnya... membelai! #Halah.

Ternyata, begitulah, maskeran kalau serius, meski pakai bahan alami yang rada asal sekalipun, hasilnya keren! Nggak kalah sama sekali dari masker buatan pabrik. Lebih tenang dan safe pula makenya, kan. Nggak kuatir ama bahan kimia apalah-apalah. Lagian, coba deh baca komposisi maskernya. Punyaku dulu sih ada starch-nya, trus juga talek. Apaan coba tuh? Mending banget tomat atau jeruk nipis. Yehhe! =D

Sekarang, sekitar 26 jam dari waktu kejadian, mukaku masih terasa sehat kenyal, efek tomat belum hilang. Nah, buat anybody yang sempet kesasar ke blog ini, kalau belum pernah mengalami, silakan coba. Tapi kalau sudah atau malah biasa,  ya, silakan tertawakan saya. Tidak apa-apa, aku kan dapat bagian pahala kalau menyenangkan hati orang. Pengalaman ini, meski konyol, sableng, nggak gitu penting jugak, tapi jujur kok. Hahahaha.

Aaaakh, kangen blogging sih. Pengen corat-coret ajah. Biar nggak penting sekarang, tapi siapa yang tahu kan, masa yang akan datang?

Tulis aja. Daripada nggak nulis apa-apa. Berusaha produktif. Ramadhan cuma tinggal 5 harian. Dan target kirim naskah-ku masih jauh dari tercapai. Yang penting tetep nulis lah. Semangat nulis, Rie! Cayo!!!

Sabtu, 11 Juli 2015

Saiki Aku Wis Gedhe

"Saiki aku wis gedhe
Sekolah mangkat dhewe
Ora usah dieterake
Bareng karo kancane

Yen mlaku turut pinggiran
Ora pareng gojegan
Ning ndalan akeh kendharaan
Mengko mundhak tabrakan"

Dulu aku gak pernah mikir apa-apa kalau dengar lagu ini. Baru sekarang aku sadar, mungkin saja lagu ini bakal bikin miris hatiku suatu saat nanti.

Lagu ini berbahasa lokal Jawa. Dannn, hanya menjadi kebanggaan bagi para penduduk desa. Di kota, dlam konteks tertentu, lagu ini sampai pada taraf berbahaya untuk diajarkan ke anak-anak TK. Bisa habis diculik semua mereka. Hadu...

Yah, apapun itu, aku bangga jadi anak desa, aku bersyukur adik-adikku pernah mengalami masa-masa belajar, menyanyikan lagu itu dengan gembira, dan mempraktekkannya tanpa ancaman macam-macam.

Memang aku sendiri tidak mengalaminya. Saat itu, di sana, TK tidaklah semenjamur sekarang, apalagi di sini. Ada TK, jauh sekalipun, itu sudah alhamdulillah banget.

Hmm...jadi ingat sahabat-sahabat masa kecilku. Sedayu Peni Anggrea Heni, Ika Purnamasari, Nona Fitriana Majoa..
Where r u galz? How r u? &What do u do?
gambar dari google