Pagi ini sarapan kami di pondok adalah sekul/sega/nasi megono. Makanan istimewa, karena masaknya butuh effort yang tidak biasa. Lama, kata ibu dapur tadi.
Pernah dengar, konon menu makanan ini ada sejarah nya.
Kamu tahu kan, petani? Kerja di sawah, panas-panasan, peras keringat habis-habisan, mengeluarkan banyak tenaga, demi ketersediaan bahan pangan di dapur-dapur kita.
Biasanya, para lelaki petani ini, pada siang hari dikirimi makan siang oleh istrinya atau anggota keluarga nya. Bisa kamu bayangkan, siang terik, membawakan makanan, jalan di pematang sawah? Itu juga bukan hal yang semudah membalikkan telapak tangan.
Kalau misal nih, menunya dibuatkan sayur berkuah, seperti sop, sayur bening, bobor, atau sayur asem. Cukup berisiko tumpah, ya kan? Apalagi kalau musim tanam dan musim panen, yang biasanya digarap bersama oleh banyak orang. Inilah salah satu wujud budaya gotong royong Bangsa kita. Tapi, mengantarkan makanan untuk orang sebanyak itu, bukankah repot juga kalau menunya berkuah?
Maka, dibuatlah inovasi berbasis kearifan lokal: nasi/sega megono. Nasi putih yang gurih dan lezat sekali karena diudak di dandang langsung bersama sayur dan lauknya: sejenis urap dan teri. Ada pelengkap misalnya gorengan tempe, peyek, dll. Biasanya para wanita mengantarkan nya dengan cara digendong menggunakan bakul.
Kalau menu dapur IF pagi ini, pelengkap nasi megono nya ada kering tempe kriuk (favorit ku), peyek ikan (tidak tahu namanya), dan sepertinya ada telur juga, hanya saja waktu aku ambil subuh tadi, masih diiris-iris telur dadar nya, belum ready.
Dengan konsep menu yang unik ini, membawakan makanan ke sawah menjadi lebih praktis. Ya, meskipun masaknya lebih repot juga. Sangat padat, mengenyangkan, dan bergizi. Cocok sekali untuk para petani yang pekerjaannya membutuhkan banyak kalori. Cocok juga untuk para pelajar, yang pada masa pertumbuhan nya memeras otak untuk belajar. Belajar kan bikin lapar, ya nggak? Proses pertumbuhan juga butuh nutrisi yang cukup. Makanya FM rame, kantin laris. Dapur pun selalu ngebul.
Kuliner ini belum pernah kutemui di Klaten, Jepara, Solo, apalagi Timor-Timur. Pertama kali aku mengenalnya adalah saat acara LTN NU di Pekalongan. Waktu itu aku penasaran, tapi baru tanya-tanya dan belum berani mencicipi. Aku mulai merasakan nikmatnya nasi megono itu di Magelang; sepotong surga di bumi: Pesantren Ihsanul Fikri (Mungkid) tempatku mengamalkan ilmu sekaligus mengais rezeki.
Awalnya jujur terpaksa aku memakan nya, karena tidak ada pilihan lain. Tapi sekali mencoba, ternyata aku langsung suka. Nasi megono. Ini sungguh lezat. Kalian harus coba! Yakin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar