Ya Allah, aku sudah sempat melupakan niatan menikah. Aku sudah terlanjur nyaman dengan situasi ku sekarang. Tanpa beban, tanpa tanggung jawab yang berat. Tanpa banyak tuntutan. Aku sudah cukup jadi aku yang sekarang, melakukan apa yang aku suka, berkontribusi sesuai kemampuan, berbaur di antara orang orang baik di sini, tidak ada yang menghakimi (setidaknya di depanku).
Hidup santai, tidur dan bangun sesukaku, pekerjaan rumah tangga dilakukan sesuai mood, makan tinggal makan, tidur tinggal tidur, mandi tinggal mandi, pengen jajan kalau lagi ada uang ya tinggal berangkat, mau main ke tempat adik atau orang tua, tinggal cari waktu luang, cabut, kadang minta izin kalau waktunya bukan saat liburan, kalau pas hari luang, ya nggak usah izin. Pengen jualan kalau pas ada produk bagus dan ada modal, ya tinggal upload. Ada yang beli alhamdulillah. Ada untungnya bisa buat tambah-tambah pemasukan, bisa buat beliin sesuatu yang tampak bagus untuk adikku, untuk ibuk, untuk Bapak, atau sesuatu yang aku pingin sekali dan aku butuh. Bisa buat ngasih ke yang membutuhkan, atau balik ngelarisi jualan orang. Ngajar ya tinggal ngajar, jadi diriku sendiri di depan anak-anak itu membahagiakan. Apalagi saat anak-anak jadi diri mereka sendiri di hadapan ku. Tampil apa adanya itu nyaman. Kalau pas pengen make skincare ya tinggal pake, kalau pas males atau buru-buru, ya tinggal ngga usah pake. Masker kain kusut atau kotor semua, ya tinggal pakai masker disposable. Pengen bikin mie, ya tinggal bikin pas ngga ada anak-anak atau pas udah pada tidur, udah punya alat masak alakadarnya. Pas pengen ngga ngapa-ngapain, ya tinggal lakuin aja, fasilitas tersedia. Pas pengen baca-baca, ya tinggal ambil buku atau buka aplikasi yang dimaui. Pengen nyusoh ya tinggal nyusoh. Hidup yang sangat indah, nyaman, mudah. Meskipun kurang teratur, kurang ideal di mata orang, tapi bagiku yang menjalaninya, sangat menyenangkan.
Sampai pada suatu hari aku pulang untuk kontrol lalu bercengkrama dengan orang rumah. Gantian, satu persatu seperti biasanya. Lia dulu, terus Pipi. Lalu bapak pulang, dan kami bicara seperti biasanya di teras rumah Mbah. Tapi kali ini topiknya ngga biasa. Awalnya sih ngalir. Tapi kemudian bapak nanya, apakah aku belum mikir nikah.
Oh ya jelas sudah pernah mikir, selalu mikir, sampai stres sendiri dan akhirnya aku memilih berhenti mikir. Toh hidupku sudah nyaman.
Tapi kemudian bapak menunjukkan sudut pandang nya. Bapak sudah tua. Aku juga sudah tua. Bapak sudah nggak pengen apa-apa, cuman pengen seperti normalnya orang seumuran beliau: lihat anak-anaknya mentas, pada nikah, terus bapak nimang cucu.
Ya Allah aku nggak kuat. Harapan itu sangat sederhana. Tapi kok sepertinya berat sekali bagiku untuk mewujudkan itu.
Harus bagaimana lagi aku? Sudah pernah ku kerahkan semua usaha. Tapi aku lelah dengan semua usahaku yang rasanya sendirian ini. Dan aku sudah senang dengan semua kemewahan yang ku miliki sekarang.
Ah aku baru ingat. Allah Maha mengabulkan jika Dia berkehendak. Sudahlah, pasrah saja. Turuti apa maunya Bapak. Agendakan. Bismillah, liburan Desember (semoga libur) capcus ke Blitar. Sungkem sama Ibuk. Sekalian sampai clear ngga ya? Kayaknya belum bisa sampai clear. Pasti bakal lama banget, penuh emosi, rawan saling salah paham.
Sebenarnya aku masih enggan. Ibuk sedang bahagia dan berbunga-bunga dengan dunianya yang sekarang. Tentu kontras dengan kondisi sebelum-sebelumnya. Ibuk sekarang bebas sebebas-bebasnya jadi diri sendiri. Yang aku khawatirkan, kontrol diri kami saling tidak bisa jalan. Seperti dulu-dulu. Karena tampaknya Ibuk sudah lupa dengan kondisi ku yang berbeda ini.
Tapi aku anak yang sudah dewasa. Aku yang harus bisa membawa diri dan menempatkan posisi. Biarlah. Desember masih lama. Yang akan terjadi, terjadilah. Sambil aku menyiapkan diri, melatih kedewasaan tutur dan sikap.
Ini agenda besar. Oktober-November-Desember. Yang penting berangkat. Sungkem. Masalah sampai clear apa enggak nya lihat sikon di sana. Maksimal 3 hari di lokasi. Bagi waktu buat Klaten dan Jogja, kalau bisa malah ke Tangerang juga. Kesempatan main kan nggak banyak. Mumpung pas ada, Sekalian aja kalo bisa.