Who Amung Us

Rabu, 29 September 2021

Air Mata Senja

Ya Allah, aku sudah sempat melupakan niatan menikah. Aku sudah terlanjur nyaman dengan situasi ku sekarang. Tanpa beban, tanpa tanggung jawab yang berat. Tanpa banyak tuntutan. Aku sudah cukup jadi aku yang sekarang, melakukan apa yang aku suka, berkontribusi sesuai kemampuan, berbaur di antara orang orang baik di sini, tidak ada yang menghakimi (setidaknya di depanku).


Hidup santai, tidur dan bangun sesukaku, pekerjaan rumah tangga dilakukan sesuai mood, makan tinggal makan, tidur tinggal tidur, mandi tinggal mandi, pengen jajan kalau lagi ada uang ya tinggal berangkat, mau main ke tempat adik atau orang tua, tinggal cari waktu luang, cabut, kadang minta izin kalau waktunya bukan saat liburan, kalau pas hari luang, ya nggak usah izin. Pengen jualan kalau pas ada produk bagus dan ada modal, ya tinggal upload. Ada yang beli alhamdulillah. Ada untungnya bisa buat tambah-tambah pemasukan, bisa buat beliin sesuatu yang tampak bagus untuk adikku, untuk ibuk, untuk Bapak, atau sesuatu yang aku pingin sekali dan aku butuh. Bisa buat ngasih ke yang membutuhkan, atau balik ngelarisi jualan orang. Ngajar ya tinggal ngajar, jadi diriku sendiri di depan anak-anak itu membahagiakan. Apalagi saat anak-anak jadi diri mereka sendiri di hadapan ku. Tampil apa adanya itu nyaman. Kalau pas pengen make skincare ya tinggal pake, kalau pas males atau buru-buru, ya tinggal ngga usah pake. Masker kain kusut atau kotor semua, ya tinggal pakai masker disposable. Pengen bikin mie, ya tinggal bikin pas ngga ada anak-anak atau pas udah pada tidur, udah punya alat masak alakadarnya. Pas pengen ngga ngapa-ngapain, ya tinggal lakuin aja, fasilitas tersedia. Pas pengen baca-baca, ya tinggal ambil buku atau buka aplikasi yang dimaui. Pengen nyusoh ya tinggal nyusoh. Hidup yang sangat indah, nyaman, mudah. Meskipun kurang teratur, kurang ideal di mata orang, tapi bagiku yang menjalaninya, sangat menyenangkan.


Sampai pada suatu hari aku pulang untuk kontrol lalu bercengkrama dengan orang rumah. Gantian, satu persatu seperti biasanya. Lia dulu, terus Pipi. Lalu bapak pulang, dan kami bicara seperti biasanya di teras rumah Mbah. Tapi kali ini topiknya ngga biasa. Awalnya sih ngalir. Tapi kemudian bapak nanya, apakah aku belum mikir nikah.


Oh ya jelas sudah pernah mikir, selalu mikir, sampai stres sendiri dan akhirnya aku memilih berhenti mikir. Toh hidupku sudah nyaman.


Tapi kemudian bapak menunjukkan sudut pandang nya. Bapak sudah tua. Aku juga sudah tua. Bapak sudah nggak pengen apa-apa, cuman pengen seperti normalnya orang seumuran beliau: lihat anak-anaknya mentas, pada nikah, terus bapak nimang cucu.


Ya Allah aku nggak kuat. Harapan itu sangat sederhana. Tapi kok sepertinya berat sekali bagiku untuk mewujudkan itu.


Harus bagaimana lagi aku? Sudah pernah ku kerahkan semua usaha. Tapi aku lelah dengan semua usahaku yang rasanya sendirian ini. Dan aku sudah senang dengan semua kemewahan yang ku miliki sekarang.


Ah aku baru ingat. Allah Maha mengabulkan jika Dia berkehendak. Sudahlah, pasrah saja. Turuti apa maunya Bapak. Agendakan. Bismillah, liburan Desember (semoga libur) capcus ke Blitar. Sungkem sama Ibuk. Sekalian sampai clear ngga ya? Kayaknya belum bisa sampai clear. Pasti bakal lama banget, penuh emosi, rawan saling salah paham.


Sebenarnya aku masih enggan. Ibuk sedang bahagia dan berbunga-bunga dengan dunianya yang sekarang. Tentu kontras dengan kondisi sebelum-sebelumnya. Ibuk sekarang bebas sebebas-bebasnya jadi diri sendiri. Yang aku khawatirkan, kontrol diri kami saling tidak bisa jalan. Seperti dulu-dulu. Karena tampaknya Ibuk sudah lupa dengan kondisi ku yang berbeda ini.


Tapi aku anak yang sudah dewasa. Aku yang harus bisa membawa diri dan menempatkan posisi. Biarlah. Desember masih lama. Yang akan terjadi, terjadilah. Sambil aku menyiapkan diri, melatih kedewasaan tutur dan sikap. 


Ini agenda besar. Oktober-November-Desember. Yang penting berangkat. Sungkem. Masalah sampai clear apa enggak nya lihat sikon di sana. Maksimal 3 hari di lokasi. Bagi waktu buat Klaten dan Jogja, kalau bisa malah ke Tangerang juga. Kesempatan main kan nggak banyak. Mumpung pas ada, Sekalian aja kalo bisa.

ODGJ di Mata Macam-macam Manusia

Ada banyak Orang Dengan Gangguan Jiwa terlunta-lunta di jalanan. Entah bagaimana mulanya, sampai kemudian mereka terpisah dari keluarganya, atau dibuang? Aku ingin bicara soal pahitnya stigma.


ODGJ ini, banyak sikap yang ditunjukkan manusia ketika melihat mereka. 


Ada orang yang jijik melihat ODGJ, ada yang takut, ada yang menjauhkan anaknya jika ada ODGJ di dekat mereka, ada yang lari atau mempercepat jalannya jika ada ODGJ. Ada yang menertawakan, ada yang mengejek, ada yang melecehkan, ada yang memperkosa wanita ODGJ karena dia tidak sempurna akalnya dan mudah untuk 'dikerjai', ada yang melempari batu, ada yang ngomongin di belakang, ada yang membiarkan saja karena tidak punya hubungan apa-apa. Ada lagi yang memberikan makanan seadanya, memberi baju ganti, ada yang membersihkan mereka dengan tangannya sendiri: keliling, bawa gunting rambut/alat cukur, pemotong kuku, dan perlengkapan bersih diri, juga baju baru; sengaja mencari orang yang terbuang itu, mereka rawat. Ada yang menyediakan dirinya, rumahnya, hartanya, untuk merawat mereka, mengobatkan mereka sampai pulih dari sakit jiwanya dan bisa hidup normal (meskipun memang penyakit jiwa itu rata-rata kronis, lama, perlu waktu tahunan untuk memulihkannya. Dan ketika pun pulih, ODGJ mungkin selamanya tidak akan pernah sama lagi dengan dirinya sebelum anugerah skizofrenia itu dia terima.)


Ada banyak sikap orang jika di sekitarnya ada orang dengan sakit mental. Dan sikap itu menunjukkan seberapa kualitas dirinya.


Terima kasih, Allah. Segala yang dari-Mu adalah yang terbaik untuk ku. Aku jadi tahu, apa-apa yang sebelumnya Kau sembunyikan dari tangkapan mataku. Terima kasih, Kau selamatkan aku dari yang tidak baik bagiku. 




Jumat, 10 September 2021

Nasi Megono

Pagi ini sarapan kami di pondok adalah sekul/sega/nasi megono. Makanan istimewa, karena masaknya butuh effort yang tidak biasa. Lama, kata ibu dapur tadi.

Pernah dengar, konon menu makanan ini ada sejarah nya. 

Kamu tahu kan, petani? Kerja di sawah, panas-panasan, peras keringat habis-habisan, mengeluarkan banyak tenaga, demi ketersediaan bahan pangan di dapur-dapur kita. 

Biasanya, para lelaki petani ini, pada siang hari dikirimi makan siang oleh istrinya atau anggota keluarga nya. Bisa kamu bayangkan, siang terik, membawakan makanan, jalan di pematang sawah? Itu juga bukan hal yang semudah membalikkan telapak tangan.

Kalau misal nih, menunya dibuatkan sayur berkuah, seperti sop, sayur bening, bobor, atau sayur asem. Cukup berisiko tumpah, ya kan? Apalagi kalau musim tanam dan musim panen, yang biasanya digarap bersama oleh banyak orang. Inilah salah satu wujud budaya gotong royong Bangsa kita. Tapi, mengantarkan makanan untuk orang sebanyak itu, bukankah repot juga kalau menunya berkuah?

Maka, dibuatlah inovasi berbasis kearifan lokal: nasi/sega megono. Nasi putih yang gurih dan lezat sekali karena diudak di dandang langsung bersama sayur dan lauknya: sejenis urap dan teri. Ada pelengkap misalnya gorengan tempe, peyek, dll. Biasanya para wanita mengantarkan nya dengan cara digendong menggunakan bakul.

Kalau menu dapur IF pagi ini, pelengkap nasi megono nya ada kering tempe kriuk (favorit ku), peyek ikan (tidak tahu namanya), dan sepertinya ada telur juga, hanya saja waktu aku ambil subuh tadi, masih diiris-iris telur dadar nya, belum ready.

Dengan konsep menu yang unik ini, membawakan makanan ke sawah menjadi lebih praktis. Ya, meskipun masaknya lebih repot juga. Sangat padat, mengenyangkan, dan bergizi. Cocok sekali untuk para petani yang pekerjaannya membutuhkan banyak kalori. Cocok juga untuk para pelajar, yang pada masa pertumbuhan nya memeras otak untuk belajar. Belajar kan bikin lapar, ya nggak? Proses pertumbuhan juga butuh nutrisi yang cukup. Makanya FM rame, kantin laris. Dapur pun selalu ngebul.

Kuliner ini belum pernah kutemui di Klaten, Jepara, Solo, apalagi Timor-Timur. Pertama kali aku mengenalnya adalah saat acara LTN NU di Pekalongan. Waktu itu aku penasaran, tapi baru tanya-tanya dan belum berani mencicipi. Aku mulai merasakan nikmatnya nasi megono itu di Magelang; sepotong surga di bumi: Pesantren Ihsanul Fikri (Mungkid) tempatku mengamalkan ilmu sekaligus mengais rezeki. 

Awalnya jujur terpaksa aku memakan nya, karena tidak ada pilihan lain. Tapi sekali mencoba, ternyata aku langsung suka. Nasi megono. Ini sungguh lezat. Kalian harus coba! Yakin.