Sejauh ingatanku, Idul Adha kali ini, 1442 H, adalah hari raya paling bahagia untuk ku. Baru sekarang aku merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya pada sebuah hari raya. Sebagai seorang individu mandiri. Yah, mungkin dalam beberapa hal, aku memang terlambat dewasa.
Idul Adha biasanya bagiku identik dengan capek, pagi-pagi harus pakai baju bagus, jalan jauh ke masjid Jami, ngelewatin rumah rumah orang tak dikenal; ketemu banyak orang tak dikenal; kerja bakti bersama ibu-ibu yang pasti disambi ghibah, ghibahin orang yang tak kukenal pula; makan bersama warga dengan menu daging yang dimasak jadi menu yang tidak kusukai: gulai; bau daging di mana mana, dapur nglinyit, cucian piring semuuua gupak lemak daging; gajih yang disimpan sampai lama; ngobori kompor tungku kayu api, lama sekali; kulkas bau nauzubillah; tempat sampah lebih kotor dari biasanya; repot sekali Bapak-Ibuk masak daging macam-macam yang aku nggak ngerti gimana cara bantunya, dan jijik juga ngebayangin ngolahnya; makan enak memang, menu daging, tapi harus nasinya banyak dengan lauk sedikit sedikit supaya hemat, supaya serumah semua kebagian dan tahan untuk beberapa hari.
Semuanya kesannya negatif. Dan aku menjalani semuanya masih sebatas bentuk rasa tanggung jawab ku sebagai anggota masyarakat. Bukan sebuah kesyukuran, kebahagiaan, dan perayaan yang aku sendiri menikmatinya.
Baru kali ini, aku merayakan Idul Adha dari hati. Bahagia itu baru muncul di hatiku sendiri.
Ya Allah, aku baru sekarang bersyukur pernah punya keluarga lengkap, dengan jumlah anggota keluarga banyak: 8 orang. Baru sekarang aku menyadari nikmatnya makan berbagi, sedikit sedikit yang penting rata. Baru sekarang aku menyadari betapa repotnya Bapak-Ibuk masakin berbagai menu daging yang menyesuaikan selera setiap anaknya. Betapa nikmatnya makan sate goreng dengan potongan kuecil-kuecil sesendok sayur mungil, untuk nasi sepiring besar, tapi makan bersama, bapak ibuk aku dan 5 adik.
Aku dulu, yang jijikan itu, tidak pernah membayangkan kalau suatu saat di masa depan, Bapak dan Ibuk ku akan berpisah. Aku juga tidak pernah kepikiran kalau di usianya yang masih sangat muda, adikku sudah akan berpulang duluan menghadap Nya. Aku tidak pernah mengira sebelumnya, di suatu hari raya, yakni tahun ini, keluarga kami akan terpencar sekian jauhnya. Bapak di Klaten sama Lia dan Pipi, Ibuk di Blitar sama suami barunya, aku di pondok IF Mungkid Magelang, Yayik di alam kubur (allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu), Mama memilih lembur di Tangerang, dan Lili dengan segudang kesibukannya di Jogja.
Tapi Ya Allah, baru sekarang juga aku merasakan senangnya keluar dari isolasi mandiri, dan diperbolehkan kembali bertemu dengan manusia sehat, tepat pada hari raya. Boleh shalat Ied, meskipun aku malah datang terlambat karena miskomunikasi. Sampai di lokasi, pada jam yang disebutkan Pak Mudhir pondok di grup, eh lha kok sudah khutbah. Jadinya cuman berdiri di luar ndengerin khutbah, jaga jarak dari ibu-ibu yang lagi haid sambil momong anak (karena Aku masih baruuuuu banget keluar dari area isolasi. Masih harus diwaspadai).
Baru sekarang aku merasakan senangnya hari H Idul Adha nyate bareng temen temen pengasuh dan musyrifah; mulai dari nyuci daging, motong2, sampai ngipasin sate di panggangan arang. Baru sekarang aku puas makan sate sampai kenyang. Biasanya dijatah, lima-enam tusuk sate kambing setahun sekali, dibagi untuk dua kali jadwal makan. Jadi makan sepiring besar nasi dengan dua atau tiga tusuk sate. Sekarang aku bisa makan sate banyak, selain bikinan kami sendiri, juga ngincipin sate bikinan anak-anak yang dilombakan; tanpa nasi bahkan, itu saja bisa sampai kekenyangan.
Baru sekarang, aku merasakan senangnya kerjasama ngurusin qurban di hari tasyrik Pertama. Aku nggak modal apa-apa, cuman bantu megangin daging, temen yang ngirisin misahin koyor nya. Bantu-bantu masukin ke plastik, nimbang, lalu mbungkus pakai plastik luar yang berlabel yayasan. Senangnya bisa ketemu teman-teman karyawan yang jarang ketemu karena beda unit, tapi aku kenal dan aku tahu persis hubungan di antara kami. Kerjasama yang lebih banyak tangan yang kerja dibandingkan mulutnya. Canda-canda sederhana sesekali yang meringankan capek di badan.
Baru sekarang juga, hari tasyrik kedua, aku memilih terjun ke area "jerohan" sapi. Bagian tersulit di antara berbagai opsi yang bisa ku ambil. Geli sendiri karena ngga bisa ngasah pisau, ngga berhasil motong koyor. Akhirnya dikasih job yang gampang, masukin jerohan ke plastik. Kujalani sepenuh hati, memastikan komposisi koyor, gajih, ati, jantung, paru, dan kerongkongan lengkap di setiap plastik nya. Sambil sepenuh tenaga ngebarisin plastik jerohan biar gampang ngitungnya. Berusaha mengimbangi gesitnya guru Ikhwan yang nanganin pemotongan koyor dan gajih, yang posisinya tepat di depan ku. Lalu tiba-tiba aku ngos-ngosan. Apa kayak gitu tadi ya yang namanya sesak nafas? Aku pun berhenti sejenak menormalkan badan. Tapi kemudian, area kerjaku tadi sekarang tidak muat lagi. Lalu aku ganti job lagi: mbukain plastik wkwkwk. Lucu sekali. Satu-satunya keahlian ku hari ini, di area jihad pemotongan dan pengemasan jerohan, adalah mbukain plastik! Sama ngebarisin dan ngitungin jerohan terkemas. Tapi aku tahu, kontribusi ku tadi lumayan mengefektifkan pekerjaan. Dan kesadaran ini membuat ku bahagia. Aku merasa berharga. Walaupun setelahnya, sekarang aku sakit, meriang nggreges-nggreges. Kecapekan, keringetan, masuk angin, dan sepertinya, kolesterol naik.
Baru kali ini, rasanya bahagia betulan dapat daging, hasil kerja keras mbagi sebelumnya. Banyak, dan masih bingung mau diapakan. Tapi senang. Jerih payahnya terbayar lunas. Dan di hati tuh rasanya puas.
Terima kasih Ya Allah atas idul Adha 1442 H kali ini. Hari raya betulan. Makan-makan enak beneran! Alhamdulillah bini'matihi tatimus Shalihaat..