Tau nggak, apa yang paling mengejutkan sekaligus membahagiakan saat dulu di LKI? Salah satunya adalah ketika suatu hari aku mengunjungi sekre, begitu kubuka pintunya, taraa, terpampanglah sekretariat yang bersih dan rapi, bahkan wangi, sampai-sampai aku akhirnya tahu bahwa sekre kami itu beralas karpet hitam. Nyaman sekali.
Soalnya, biasanya sekre itu selalu sumpek, penuh barang, berdebu, lebih cocok dinamakan gudang. Eh lha kok ternyata bisa disulap jadi tempat nongkrong yang bikin betah, tempat berkarya yang banyak ideku lahir di sana.
Salut dan hormat buat siapapun yang ikut serta beres-beres waktu itu.
Aku masih ingat ada kertas asturo bertuliskan struktur organisasi yang dibuat oleh Ikawati. Sempat dihujat, yang seketika itu juga, penghujatnya kumarahi.
Aku kok suka marah-marah, ya, pas di kampus dulu? Di LKI, hobi marah-marah sama kadep ku. Di Biro AAI, marah sama sekretaris kaderisasi. Di rumah, marah-marah kalau pas aku lagi sibuk, diganggu. Kena marah, setiap saat ketika bukan sedang tidak kena marah.
Ahh, sekre itu. Markaz LKI.. rapi sekali..!
Kapan ya aku bisa kayak gitu?
Aku nggak bisa beres-beres. Nggak pernah bisa beres. Apalagi rapi-rapi. Aku nggak ngerti caranya gimana supaya jadi rapi. Apalagi kalau sendiri. Aku nggak tahu apa dulu yang harus dimulai. Dalam hal beres-beres ya.
Aku juga sering nggak nyambung. Nggak peka, ora mudengan, kata orang sini. Nggak tanggap, kata keluargaku.
Ketika dibahas, aku cuma ketawa-tawa mengakui. Tapi saat sendiri, dan mengingat berbagai informasi yang kudapat setelah dewasa, bahwa setiap teriakan orang tua, setiap kemarahan orang tua, setiap pertengkaran orang tua, ketika anak masih di rentang usia dini hingga SMP, setiap bentakan, setiap hardikan itu memutus 1 sinaps, hubungan antar neuron, sel otak yang terhubung dengan neuron lainnya.
(Apalagi aku tahu, aku disalahkan, dipersalahkan, atas sesuatu yang benar-benar di luar kuasa ku. Aku tahu persis aku tidak salah, tapi aku tidak mengerti kenapa aku harus dimarahi. Tahu nggak? Yang ada hanya sakit hati! Sakit sekali di dada dan di leher belakang mulut, bikin nggak bisa ngomong apa apa)
Pada saat seperti itu, yang Aku bisa hanya mengalirkan air mata.
Aku nggak tau harus melepaskan beban ini dengan cara apa.
Harus pada siapa aku membeberkannya..
Pada Allah? Lalu memaafkan masa lalu? Itu hanya teori. Dan aku tidak mengerti bagaimana menerapkan itu teori dalam kehidupan nyata ku ini.
Aku kadang. merasa lumayan cerdas sesekali, ketika bisa memecahkan persoalan pelik yang membutuhkan logika, analisis, dan waktu jeda untuk berpikir.
Tapi sekaligus juga aku merasa teramat sangat bodoh sekali ketika sedetik momen terlewat di mana aku seharusnya berbuat sesuatu, seperti mengambilkan tisu lebih tepat waktu di saat lawan bicara matanya berkaca-kaca dan hidungnya memerah (sebelum air matanya menitik betulan).. Atau ketika gelas tersenggol, dan sebelum airnya tumpah mungkin aku bisa memegangnya atau menyingkirkannya dari jangkauan anak kecil.. Atau ketika acara selesai dan bu pembicara berlalu tanpa menenteng tentengan, sementara snack ada di depanku.. Apalagi di momen-momen masak bareng keluarga. (Makanya aku bisanya masak sendirian. Tapi aku kerja apa-apa itu lama. Jadinya orang orang pada nggak sabaran. Biasanya sok mau bantu. Tapi terus aku dimarahin karena dianggap nggak bisa diajak kerja sama.)
Lalu ketika sedang bakar-bakar BBQ-an, ada yang mengangsurkan tisu atau saus bumbu, tapi aku bengong tak paham harus ngapain selama sedetik..
Cuma sedetik! Tapi dalam sedetik itu, momen tindakan spontan terpaksa harus diambil alih oleh orang lain yang mungkin lebih jauh posisinya. Dan sedetik itu menjadikan aku merasa dan terlihat sangat bodoh dan tidak paham apa-apa. Tidak peka.
Apakah betul teori itu? Syaraf-syaraf otakku banyak yang putus, sehingga aku selalu loading lama di saat seharusnya aku melakukan tindakan spontan? Apakah itu betul??!
Ingin sekali aku menyalahkan keadaan. Tapi bagaimana caranya aku juga tidak tahu. Aku hanya membusuk di sini, menua dalam kebodohan tanpa keterampilan hidup sama sekali.
Aku tahu, tidak bijak kalau aku menyalahkan. Tapi selebihnya aku harus gimana, entah juga!