Who Amung Us

Minggu, 24 Juli 2022

Kontemplasi Konselor Pemula

 

Allah memperjalankan orang-orang untuk menemui kita. Mereka ceritakan persoalan hidup yang membelit diri mereka. Mereka berharap dengan bertemu kita, mereka akan menemukan solusi atau minimal merasa lebih baik.


Aku amat bersyukur karenanya. Ada peluang kebaikan di sana. Tapi di balik itu semua, ada lagi hal besar yang baru  kusadari sejak konseling terakhir kemarin menjelang senja. 


Rasa-rasanya, kok akhir-akhir ini banyak sekali Allah pertemukan aku dengan orang orang yang punya masalah sebagaimana masalah-masalah yang pernah ku alami dulu. Masalah-masalah yang belum selesai. Masalah yang aku masih tak tahu harus bagaimana. Masalah yang membuat dada sesak dan hati gundah jika mengingatnya.


Pada pertemuan pertama dengan mereka, aku termangu. Aku seperti mendengar orang orang itu menceritakan kisah hidupku sendiri. Aku diam mendengarkan. Ada berupa-rupa rasa campur aduk yang bergejolak di hati ini. Aku merasa senasib dengan mereka. Aku merasa bukan aku sendirian yang menanggung derita-derita itu. Aku merasa ikut bingung. Aku teringat perasaan perasaan tidak menyenangkan yang pernah ku alami dulu, yang mereka ceritakan sedang mereka alami itu. Aku merasa harus bangkit. Aku merasa harus menolong. Aku merasa harus belajar. Aku merasa tidak boleh diam saja. Aku merasa, inilah kesempatan bagus untuk ku, mencari penyelesaian atas masalahku sendiri kala itu, dengan cara membantu mereka menemukan penyelesaian atas masalahnya.


Dengan berjuang membantu mereka, rupanya sejatinya aku sedang membantu diriku sendiri. Untuk sembuh. Untuk pulih. Untuk bangkit. Untuk meng-utuh kembali. Untuk selesai dengan diriku sendiri.


Ternyata healing itu bisa seiring sejalan, antara self healing dan healing others. Mungkin aku belum sempurna saat mereka datang padaku. Aku kadang masih banyak terdiam. Berpikir dan merenung lama sebelum mengeluarkan kata-kata. Merespon dengan amat sangat hati-hati sekali, karena beresiko salah ucap jika aku sembarang saja berkomentar. Tapi setidaknya, aku merasa, dengan niat baikku menyambut mereka, menerima mereka, dan berusaha membantu mereka, dengan itu pula Allah bukakan jalan padaku untuk menyelesaikan apa-apa yang belum tuntas di masa lalu. 


Idealnya, kita sudah selesai dulu dengan diri kita sebelum kita bisa melihat, menyadari, berempati, dan menolong orang lain. Tapi bukankah jika panggilan tugas itu datang, kita harus bersegera menyambutnya? Sambil berharap, Allah yang bantu, Allah yang bukakan jalan, Allah yang tuntun dan selesaikan. Meskipun bisa jadi ada fakta bahwa saat itu kita sendiri belum beres.


Mungkin aku tidak sempurna, dan memang tidak akan pernah sempurna, karena aku hanya manusia. Tapi seiring waktu, aku akan terus belajar, akan terus berusaha lebih baik, dan semoga, Husnul khatimah layak aku temui kelak. Aamiin 

Selasa, 31 Mei 2022

Roller Coaster Hari Lahir Pancasila


Malam kemarin berakhir dengan baik, meski badan meriang, tapi sepanjang malam berhasil nyelesein tugas analisis kasus anak dan remaja ditambah bikin tulisan refleksi buat dikirim ke website SMP. Nanti mari kita cek, apa sudah terupload atau belum. Kalau nggak dimuat juga, protes ke Pak Sholeh, sebelum mutung nggak mau nulis lagi buat humas.


Alhamdulillah setelah minum Antangin, yang diselang jarak setengah jam dengan obat komplit wajib dan sunnah, lalu diselang setengah jam lagi untuk ngeteh, malam tadi tidurku lumayan nyenyak, lebih berkualitas dari kemarin-kemarin. Akhir-akhir ini tidurku gelisah. Apa mungkin karena aku sendirian, nggak ada Wulan, jadi takut nggak kebangun?


Pagi tadi dimulai dengan gemilang. Aku bangun jam 3.30, disambut dengan hujan deras. Langsung doa banyak-banyak sekhusyu mungkin, dan istighfar sebanyak banyaknya. Lalu terdengar adzan subuh yang swejukk banget di hati. Kayaknya suaranya Pak Pawit deh, jarang sekali terdengar selama ini. Langsung ke belakang, disambut para anabul di depan pintu asrama, sambil mampir kasih makan mereka. Ma'tsuratan dengan tenang. Rasa hatiku cuman tenang aja gitu, fresh, rasanya siap untuk apapun hari ini. Sudah berniat untuk ngantor pagi dan menyelesaikan tugas tugas administrasi, bikin narasi evaluasi program BK, lanjut bikin proposal ruang konseling. Oh ya, ada upacara pake baju adat. Ada juga Zoom sosialisasi dari kampus. Well, jadwalku padat hari ini, oke aku siap.


Aku ambil sarapan. Surprise! Tahu kupat, yang kuidam-idamkan sejak pekan kemarin, saat bokek-bokeknya isi dompet. Aku ambil banyak, seplastik penuh. Nasinya duikitt buanget. Sama teh seplastik. Alhamdulillah, mood ku langsung naik. Semalam udah pecel, pagi ini ditambah lagi dengan tahu kupat, mood booster parah.


Scroll2 sebentar... Terus mandi. Habis mandi, olahraga mumpung sepi : rabbit dance. Habis itu leren atur nafas. Rasanya tapi capek banget. Aku langsung pakai gamis item ditambah outer brokat yang baru, pura-pura nya kebaya. Rebahan, cuwapek, sambil muter playlist Azzam Haroki (buat naikin mood juga), aku liat story WA ku sendiri. Wwwaaahhh, mood booster selanjutnya: dia liat statusku bruh!!! Aaaakkk... Syuenenggg!


Lanjut upacara online. Pakai kebaya abal-abal kan, nggak ada ketentuan pake jilbab hehehehe. Jadinya aku ikut upacara sambil rebahan. Eh tiba-tiba ada panggilan H-10 menit, suruh ke lab bahasa. Langsung gedubrakan pake jilbab hehehehe. Turun deh ke kantor, absen, Trus ke lab. Ternyata udah banyak ibu-ibu. Dan banyak yang cuman batikan ternyata. Tapi ada yang sampai jilbab kreasi segala untuk pasangan kebaya pink nya.


Ternyata dipanggil ke lab itu kita-kita cumak dikumpulin buat bikin foto. Oalah, kirain mau ada taklimat apaa.


Habis sesi foto-foto, kita yang ibu-ibu pindah tempat, lanjut sesi foto-foto selanjutnya. 


Tapi di akhir sesi foto ini, ada ibuk yang berseloroh, "Iki kapan, sopo sing arep mantu dhisik iki?" 


Deg. Nggak enak banget dengernya. Baper parah. Mood ku langsung turun drastis.


Aku entah kenapa sedang sensitif sekali soal nikah nikah ini. Aku kan juga pengen, tapi belum ada kabar tuhh, bukan aku kan ya berarti yang disindir. Tapi dengan adanya aku di sana... Kok hatiku sakit sekali ya.? Di sana juga ada Mbak Dezy. Aku kan jadi menebak-nebak. Mbak Dezy makin cantik aja akhir-akhir ini, auranya keluar gitu. Dan secara amanah juga kayaknya lagi diprospek banget. Beruntun silih berganti. Sedangkan aku? Dipandang pun tidak.


Setelah para ibu membubarkan diri, aku coba naik, nunggu kalau mungkin Bu Asfi segera datang, mbukain pintu. Biar aku kebut segera tugas-tugas ku. Tapi, ku tunggu lama, sambil senderan tangga, ndengerin podcast kajian Ustadz Hanan Attaki, kajiannya bagus, tapi suasana hatiku enggak, dan kok lama lama mood ku makin buruk ya. Ditambah dengan bajuku yang berlapis-lapis, sumuk, rasanya aku kudu muntab.  Yaudah, aku nyerah. Aku balik asrama aja. Yang penting kan progres dan hasilnya. Aku nggak harus nongol terus di kantor BK, asal progres ku nyata. 


Di asrama, aku meledak. Kayaknya turahan meriang semalam masih ada sisanya ini. Fisik dan hatiku rasanya nggak karu-karuan. Aku ganti pakai daster, rebahan, blonyohan freshcare, muter juz 30 Salim Bahanan, Trus nanges sejadi-jadinya sambil mulut murojaah dan hati ngeluh-ngeluh wadul ke Allah. 


Sebelum ini, aku nggak pernah sakit hati sampai segininya. Iri apa yah, namanya? Ya Allah, ternyata hatiku belum seluas samudera. Denger kalimat kayak gitu aja, hatiku bisa sehancur ini. Astaghfirullah.. beri aku hati yang lapang ya Allah. Bersihkan hati ku ini dari dengki dan segaaala penyakit hati. Maafkan jika selama ini malah kepalaku yang besar, merasa punya hati lapang padahal enggak blas.


Dahlah. Habis ini Zoom sosialisasi dosen pembimbing akademik. Mode fokus on lagi. Udahan dulu mode bapernya. 

Minggu, 22 Mei 2022

Dewasa

 Semakin dewasa, hidup tidak menjadi lebih ringan. Tapi seperti yang kubilang di kartu ucapan 19 tahun Pipi; menjadi dewasa bukan hanya soal bertambahnya tanggung jawab, namun juga bertambahnya kesempatan untuk berbuat kebaikan yang banyak. Hmm.. sudah saatnya kembali ke gaya hidup seperti dulu lagi. Hemat, sederhana, ngati-ati. Karena aku harus ingat, aku punya banyak mimpi. Toh seperti yang aku bilang tempo hari ke Mbak Ima; aku tidak dituntut siapapun untuk menanggung siapapun. Aku hanya diharapkan bisa mandiri, dengan kata lain juga menanggung mimpi-mimpi besarku sendiri, tanpa merepotkan orang tua lagi. Karena aku sudah dewasa, aku harus sudah mulai sanggup menopang hidupku sendiri.


Diriku, mari kita berhenti berfoya-foya. Karena ini semua:

- renovasi atap dan kusen kayu di rumah kidul. 

- berangkat menunaikan ibadah haji. 

- pasang behel. 

- rekaman nasyid. 

- sedekah rutin. 


Kita pernah hidup dengan 200.000-300.000 per bulan. Sekarang semuanya ditanggung pondok. Hidup dengan bekal segitu, insyaallah lebih dari cukup. Nggak usah sok dermawan dengan nraktir ini itu ke adik-adik di Klaten maupun di Magelang. Mereka semua ada yang nanggung. Aku cuma dituntut untuk menanggung diriku sendiri, beserta segala mimpi-mimpi besar ini. Sampai Allah yang putuskan, di titik mana aku harus pulang menghadap-Nya, melaporkan segala yang kujadikan karya selama di dunia.


Ya Allah, aku ridha sekalipun Kau takdirkan aku nikahnya masih lama, kelak di surga. Aku nggak merasa perlu lagi nabung untuk pernikahan di dunia. Tapi tolong Rahmati aku agar layak masuk surga-Mu itu. Biar aku bertemu pangeran ku di sana. Dan lebih dari itu, izinkan aku menatap Wajah Mu yang tak pernah terbayangkan oleh manusia.

Senin, 21 Maret 2022

Pesma Ar-Royyan

 Ya Allah, aku ingin cerita. Tadi pertemuan pekanan ku membahas pintu Ar-Royyan. Dengar nama pintu itu, aku langsung pingin cerita sama Engkau ya Allah. Nama pintu itu mengingatkan ku pada pesantren mahasiswa Ar-Royyan.


Aku ingin sembuh ya Allah. Aku ingin utuh. Izinkan aku menyelesaikan nya sekarang.


Aku dulu pernah kepingin sekali mondok di Pesma Ar-Royyan. 


Awal ketika baru masuk UNS, cari kos, aku belum kenal lingkungan, nggak tahu apa itu Pesma Ar-Royyan. Saat pertama aku bertemu Wisma Khotimah, aku langsung suka, karena orang-orangnya baik, kosnya bersih, budaya kehidupan di sana menyenangkan. Aku memutuskan lanjut kos di situ setelah sempat ngerasain tester menginap seminggu selama OSMARU. Bapak menyetujui saja keputusan ku. Kos dibayar lunas untuk satu tahun. 2 juta kala itu.


Beberapa bulan berjalan di Solo, aku mulai kenal Musholla Al Quds Fisip, Masjid Nurul Huda, Masjid Nurul Amal depan kosan, dan, pesantren mahasiswa Ar-Royyan. Aku jatuh cinta pada semuanya, termasuk yang terakhir.


Tapi ya Allah, kosku sudah dibayar. Mahal sekali. Ditambah dengan uang kuliah 1,2 juta satu semester, dan biaya hidup 200 ribu per bulan. Alangkah banyak uang keluarga kami yang tersedot untuk keperluan ku.


Dan celakanya, jadwal penerimaan mahasantri Pesma Ar-Royyan itu tidak sinkron dengan pembaruan pembayaran kontrakan kami di Wisma Khotimah. Setiap tahun, aku terlanjur memperpanjang masa tinggal di Khotimah, 4 tahun berturut-turut. Baru kemudian liat spanduk penerimaan mahasantri Pesma Ar-Royyan. Terlambat, selalu. Begitulah rezeki ku.


Ya Allah, aku bersyukur, aku berterima kasih sekali atas rezeki Mu, bisa hidup di tempat sebaik Khotimah. Aku pernah punya kamar sendiri! Aku jadi paling rajin sholat 5 waktu, mengenal ibadah sunnah, belajar jadi imam, belajar ngepel, latihan membuang jijik dengan mengurus sampah, menguras WC, jadi semangat ke kajian, rajin mengasah akal, lisan, dan wawasan bersama Mb Asri, Mbak Anggi, Mbak Novi, Mbak Ika, Mbak Cikuy, Mb Farisda, dkk, dalam diskusi rutin kami malam hari sepulang aktivitas harian di kampus yang menguras segalanya. Shalat-shalat jama'ah kami, saling membangunkan di pagi hari, izin khusus dari takmiroh untukku bisa pulang lebih malam guna belajar tahsin dan bahasa Arab. Aku beruntung sekali ya Allah!


Tapi aku ingin cerita sedikit penyesalanku tidak pernah berani bilang soal Pesma Ar-Royyan. Betapa di sana lebih tertata, penuh dengan target, dilimpahi cahaya ilmu, setiap hari bisa dekat dengan ustadz-ustadzah yang sesekali bisa kutemukan di kajian kampus dulu. Iri sekali rasanya melihat mereka, mahasantri Pesma Ar-Royyan.


Ya Allah, aku sedih tidak berani menyatakan ke Bapak Ibuk kalau aku pingin mondok di situ. Kalau sekarang kupikir-pikir, dibandingkan dengan pesantren lain, Ar-Royyan lumayan worth it. Tidak jauh beda juga sama bayar kos di Khotimah.


Tapi ya Allah, hamba terima. Hamba memang memikirkan keberlangsungan keluarga di rumah, adik-adik yang banyak, semua masih sekolah. Ibuk yang masih bolak-balik Klaten - Jepara. Bapak yang mengatur semuanya sendiri atas segala kondisi di keluarga kami. 


Hamba terima memiliki keluarga yang banyak dan terbiasa dengan keterbatasan. Hamba terima berada di keluarga yang penuh dengan tekanan. Hamba terima masa lalu hamba yang belum bisa asertif. Hamba terima semuanya Ya Allah.


Hamba terima beberapa teman terbaik dari Ar-Royyan yang Engkau sahabatkan dengan hamba. Teman baik yang masih terhubung sampai sekarang.


Hamba terima ya Allah, hamba cuman sesekali bisa menginjakkan kaki di Ar-Royyan. Mengunjungi teman, mengunjungi adik binaan, menghadiri tatsqif rutin, menemui mbak2 yang ditugaskan, pinjam buku, syuro, pinjam perkap, numpang sholat, numpang baca, numpang berteduh, ngerjain tugas, dll.


Ya Allah, hamba terima hamba tidak mondok di Pesma Ar-Royyan. Hamba ridho, ya Allah, tidak mondok di Pesma Ar-Royyan. Hamba ridho ya Allah, dengan masa lalu itu. Hamba ridho dengan segala keterbatasan itu. 


Hamba bersyukur tidak mondok di sana, jangan-jangan kalau hamba mondok di Ar-Royyan, hamba jadi merasa keren, terus sombong. Terima kasih ya Allah, Kau tempatkan hamba selalu di tempat terbaik. Dulu, kini, dan hamba yakin, selamanya.


Terima kasih atas semuanya ya Allah. Hamba sudah selesai dengan Solo, termasuk Pesma Ar-Royyan nya. Hamba ridho impian itu terwujudnya sekarang, jadi guru BK yang musyrifah di pondok pesantren Ihsanul Fikri Mungkid. Hamba ridho dan bersyukur. Terima kasih banyak ya Allah. Engkau lebih Tahu yang terbaik untuk hamba.



Sabtu, 01 Januari 2022

Mengenal Diri Kembali

 Kekuatan ku


1. Aku suka, mudah, dan nyaman mengekspresikan perasaan dan pikiran lewat tulisan.

2. Aku senang dan bagus dalam menyanyi.

3. Aku pernah bisa nyiptain lagu.

4. Aku bisa baca Qur'an dengan cukup baik pakai murottal ala aku sendiri, meski tahsin belum sempurna.

5. Aku ramah dan mudah bergaul dengan orang baru.

6. Aku menjaga hubungan erat dengan sahabat-sahabat/orang-orang terpenting dan terbaik dalam hidupku.

7. Aku tidak kesulitan/canggung dalam public speaking.

8. Aku ekspresif, totalitas, dan menyenangkan dalam mengajar.

9. Aku mudah memaklumi dan memaafkan. Level toleransi ku cukup tinggi untuk hal-hal yang bagiku tidak begitu krusial.

10. Aku senang dan antusias dalam belajar.

11. Aku selalu berusaha iltizam dalam tarbiyah.

12. Aku selalu berusaha hormat, taat, dan terbuka pada qiyadah. Kalau aku punya pendapat, punya masukan, akan langsung kusampaikan tanpa sungkan.

13. Aku cukup percaya diri dengan penampilan ku yang seadanya. Tidak repot bersolek atau menutupi kekurangan-kekurangan. Aku senang tampil apa adanya.

14. Aku tidak suka menutupi karakterku. Aku memang berantakan, kalau ada yang dolan, yaudah seadanya, tidak perlu mengada-ada. Aku tidak suka sikap bermuka dua. Di depan tamu sok manis, tamunya pulang berubah jadi singa garang.

15. Aku berani berbeda jika itu diperlukan demi kebaikan.


Titik lemah ku:

1. Motivasi merawat diri sangat rendah (skincare dan olahraga, menjaga berat badan ideal)

2. Jorok, berantakan, kemproh.

3. Kesulitan menata barang supaya rapi.

4. Sulit menjaga kerapian dan kebersihan kamar meskipun sudah dibantu bereskan oleh orang lain.

5. Malas menyeterika.

6. Enggan asertif ngantri nyuci.

7. Malas njemur.

8. Malas membuang benda-benda tak berguna.

9. Suka lupa naruh barang, selalu saja ada yang ketinggalan.

10. Gendut.

11. Kusam.

12. Mata minus. Tidak cermat dalam mengamati visual.

13. Kritis, suka menjawab sebelum selesai dinasehati.

14. Keras kepala. Berpendirian kuat. Tapi kadang sulit asertif. Sehingga akhirnya sering konflik sama yang sama-sama berpendirian kuat tapi pemikiran nya berseberangan.

15. Lemah sama Ikhwan lajang yang punya jiwa kepemimpinan kuat.

Catatan Raker semester genap tahun ajaran 2021-2022

 

Komitmen ku:


- Bikin jurnal layanan BK lagi. Ditambah kolom Evaluasi proses

- Rajin ngecek jurnal kelas setiap pekan!

- Presensi jam 7 & 15









Jika ditanya berapa persen waktu dan perhatian ku untuk IF, untuk dakwah..

Aku hanya butuh waktu untuk tidur, makan, mandi, telepon keluarga 2 jam dalam seminggu, dan pulang untuk kontrol 1 hari dalam setiap bulan. Ditambah sedikit waktu untuk healing, refreshing, katakanlah dirata-rata jadi 30 menit setiap hari.


Hanya itu me time ku. Selebihnya adalah untuk bergerak. Berlari hingga kelelahan itu yang lelah mengejar ku.


Ya Allah, tempat ini adalah tempat terbaik berikutnya yang kau letakkan aku di dalamnya. Di sinilah aku mulai belajar punya harga diri. Setelah di sinilah, lemariku mulai terisi baju-baju pilihan ku sendiri. Meskipun tidak langsung, butuh proses, yang mengandung unsur waktu.


Teringat dulu, selalu Ibuk yang membelikan baju untuk ku, setiap tahun sekali, beberapa bulan sebelum lebaran idul Fitri, dengan trik ala bakul itu. Baju-baju berkualitas dengan harga yang menerbitkan senyum, meskipun kadang modelnya aku kurang suka, tidak sesuai selera anak muda.


Teringat juga saat aku mulai hidup sendiri. Solo. Betapa awal aku hijrah itu, nyaris tidak ada baju yang bukan pemberian orang. Baju bekas dari kakak tingkat, sobat, yang sekarang sudah pada jadi Ummahat. Pengecualian hanya 2: 1 jilbab putih motif tulip pink, hadiah dari Phy, permata mungil yang Allah karuniakan untuk ku. Jilbab, yang saat itu super hitz di kalangan para akhwat modis. 2: seperangkat mukena dan sajadah, yang disalurkan oleh sahabat yang sering jadi tempat menginap ku kalau kemalaman pulang ngelesi. Tempat numpang, tempat healing, tempat dimana aku selalu diladeni (seperti ibuku, dia sangat tulus memuliakan tamu), tempat aku belajar keperempuanan yang nyata dan realistis. Alat Sholat itu sedekah ramadhan dalam rangka syukuran dari kakak tingkat nya sahabat ku itu yang baru saja keterima CPNS. Mukena jumputan warna ungu-ijo, sajadah traveling warna merah. Sajadah yang ketinggalan di salah satu masjid saat acara dakwah entah apa aku lupa. Mukena Bali yang masih ada sampai sekarang, hanya saja sudah bolong-bolong, aus kemakan usia.


Yah, awal di sini pun aku masih diberi baju bekas orang baik.. yang melihatku mungkin terlalu sering baju itu saja yang dipakai. 


Tapi setelah beberapa tahun di sini, aku punya pemasukan yang cukup untuk sekedar beli tisu, beli gamis baru yang menarik karena tampaknya nyaman dan aku suka entah warnanya, modelnya, ukurannya, atau semuanya. Juga beli jilbab yang diserasikan sama bajunya. Jilbab yang sesuai dengan seleraku: bahannya, warnanya, modelnya, ukurannya, harganya. Dan bisa kujual juga!


Di sinilah aku punya tempat untuk menyalurkan segala potensiku.. perhatian ku.. minat dan bakat ku.. keresahan ku.. dan segalanya.


Ya Allah, rasanya aku ingin mati di sini, dikuburkan di sini.. di tanah yang pernah ku impikan secara random jadi hunian ku ini. Di tanah yang cukup berjarak dari tempat lahir ku, sehingga ada hitungan pahala merantau/hijrah. Di tanah yang penuh dengan orang orang yang menyayangi ku, meskipun beda dengan sayang nya orang tua ku. Di tanah yang aku dinilai baik di sini, tidak selalu salah dan berdosa.


Agar keluarga ku kelak punya alasan untuk silaturahmi ke sini, minimal untuk menziarahi ku sesekali. Agar mereka terhubung dengan kami di sini. Meski tidak harus lewat aku langsung, karena Engkau lebih Tahu jalan terbaik untuk mereka.


Selamat tinggal Solo. Aku maafkan. Aku ridho. 5 tahun lebih ini sudah cukup bagiku untuk memulihkan diri. Aku sudah berdamai dengan semuanya. Aku sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang. Terima kasih telah menjadi kawah candradimuka ku, mengubah seorang Rie menjadi jauh lebih baik, jauh lebih mengenal Tuhannya, dan punya banyak teman yang satu frekuensi. Segores luka hati tidak perlu mengurangi manisnya ukhuwah. Setitik kecewa pada manusia, tidak perlu mengubah takdzimku pada tarbiyah.


Kita adalah kumpulan manusia. Manusia tempatnya salah. Memang tidak ada yang sempurna kecuali hanya Allah.


Satu yang biar kupegang, sebagaimana kata itu pertama kali ku susun dulu: kalau aku diam, dan engkau juga diam, lalu kapan mereka yang tidak tahu, mengetahui kebenaran?


Tidak ada lagi gelenyar galau saat mengatakan ini. Selamat tinggal ku ucapkan pada segenap luka hati. Selamat tinggal untuk semua pengalaman pahit yang mengajarkan aku menjadi manusia seutuhnya. Kuambil hikmahnya, kubuang sakitnya. 


Bismillah... Aku siap menjadi Rie yang baru. Rie yang tulus tapi asertif. Rie yang ceria tapi bisa menempatkan diri. Rie yang ramah tapi tegas. Rie yang bermanfaat, tapi bukan untuk dimanfaatkan. Rie yang muslimah. Rie yang pendakwah. Rie yang Konselor. Rie yang selalu punya mimpi, bersemangat mewujudkannya, namun tetap menjejak bumi. Rie, yang dengan kekuatan dari Allah, siap berkontribusi penuh. Insyaallah.




Jumat, 24 Desember 2021

Kuliah, Ngapain?

Orang-orang mengira aku ini semangat menuntut ilmu. Entahlah, semoga itu benar. Ya walaupun sebenarnya aku kuliah S1 lagi ini adalah akumulasi dari berbagai latar belakang.


Yang pertama, aku memang sudah sejak lama berkeinginan untuk lanjut S2 jurusan psikologi atau BK. Waktu skripsi dinyatakan lulus dengan nilai A, aku sudah menumbuhkan cita-cita itu sebagai puncak berikutnya yang akan ku taklukkan. Tapi apa daya, orang tua belum mengizinkan.


Sepertinya karena khawatir soal biaya. Adikku ada banyak, dan sudah waktunya gantian membiayai adikku yang lain. Padahal aku sudah bilang, aku tidak akan S2 kalau bukan dari beasiswa. Tapi sepertinya ortu masih belum yakin. Beliau berdua mengizinkan aku kuliah lagi kalau sudah bekerja besok. Kerja dulu, biar punya status katanya. Baru nanti bebas kalau mau Nyambi S2. 


Ya sudah, aku kerja. Masuk keluar masuk keluar di awal-awal lulus. Ya, dua bulan setelah wisuda memang aku sudah berstatus karyawan. Meskipun aku belum betah karena tidak bisa berprestasi di sana. Aku tidak bisa menjalankan tugas dengan baik. Sudah kucoba melakukan berbagai trik yang ku tahu, tapi tidak satupun proposal ku berujung kesepakatan ada yang mau ngiklan di tempat kami. 


Sambil siangnya bekerja, malamnya aku browsing-browsing hunting beasiswa. Nyiapin berkas, ngirim aplikasi, ngikutin setiap tahap seleksi. Tapi qadarullah belum lulus. Dua bulan bekerja di kantor pertama, aku resign. Pengunduran diri ku dengan cepat disetujui.


Lalu aku ikutan job fair, kirim lamaran kerja, ikut seleksi, Luntang Lantung bertahun-tahun, masuk satu, sebentar kemudian keluar lagi, sampai akhirnya di tahun ke 2,5 setelah kelulusan ku, aku diterima kerja di tempat yang sekarang. Tempat terbaik, dimana ku temukan banyak hal yang aku butuhkan.


Sambil segala proses ini, aku juga masih belum berhenti hunting beasiswa. Meskipun belum satupun yang sampai lulus di tahap seleksi terakhir.


Beberapa tahun kerja, yayasan kami menyiapkan pendirian Sekolah Tinggi dengan 2 jurusan: Bimbingan Konseling Pendidikan Islam, dan Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Aku mulai menimbang-nimbang untuk mendaftar.


Alasan kedua, adalah karena saat STIT mulai dibuka pendaftaran nya, itu bertepatan dengan saat-saat tergalau ku. Galau soal jodoh. Segala ikhtiar terhebat telah kuupayakan. Sampai aku berpikir, daripada Ikhtiar tak berujung, membuat aku galau dan lama-kelamaan jadi tidak produktif, mbok mending energiku disalurkan buat mengupgrade diri. Meningkatkan kapasitas, menambah ilmu. Apa saja yang aku ingin tahu.


Saat itu memang sih aku juga sudah sering sekali ikutan kulwap, seminar, workshop, dsb. Di samping lihat-lihat konten YouTube yang isinya tentang kajian atau life hack atau ilmu-ilmu psikologi juga. Atau suplemen pranikah. 


Tapi terus aku mikir, ini ada kesempatan kuliah S1 BKPI. Meskipun S1 lagi, tapi kan lumayan, ada gelar. Mungkin bisa berpengaruh sama karirku. Atau entahlah, biarlah, aku tidak terlalu menganggap ini penting. Tapi kesempatan kuliah murah, ada majelis ilmu yang akan ku ikuti secara rutin, berkurikulum, tahap demi tahap.. konsepnya akan ku pahami secara menyeluruh. Di jurusan yang selama ini kuidam-idamkan untuk S2. Waw.


Alasan ketiga adalah melarikan diri. Suatu hari, dini hari 17 Agustus, aku diminta pulang oleh ibuku karena akan ada yang datang. Laki-laki. Yang tidak jelas maunya apa. Tapi memang mengarah mau mengkhitbah. Cuman sayangnya, aku tidak suka sifatnya, akhlaknya, kebiasaannya, caranya menerapkan ajaran agama, pemikiran nya, gaya hidupnya. Dia sempat bilang, perempuan ngapain lah sekolah tinggi tinggi.


Wah, aku langsung ketrigger. Justru ku lakukan sebaliknya. Aku memutuskan daftar kuliah di sini tanpa banyak berpikir lagi. Aku punya pemikiran yang berseberangan dengan laki-laki itu. Perempuan harus cerdas, harus pintar, karena kami yang akan mendidik langsung anak-anak kami.


Aku tidak mau jadi Nyai yang diladeni semua orang, diajeni semua orang, sampai pada mbungkuk-mbungkuk, berebutan cium tangan, dan sebagainya, hanya karena status pernikahan. Sementara di sisi lain, anakku akan diposisikan orang orang bagaikan pangeran.. yang penuh dengan privilege.. dan akhirnya membuat dia sombong, tidak mandiri, dan seenaknya sendiri. Seperti laki-laki itu. No, jelas aku tidak mau.


Di tengah desakan orang tua dan adik-adik, juga keluarga besar.. supaya aku segera menikah. Tampaknya bagus jika aku sekarang menyibukkan diri dengan belajar.


Walaupun juga sedihnya aku seperti menjauh dari Ikhtiar itu. Aku tidak sesemangat dulu untuk menjemput jodoh. Bahkan kadangkala aku merasakan ada pikiran buruk muncul dari otakku: nikah itu ngga penting, malah merepotkan, menyusahkan, banyak tanggung jawab dan tambah banyak lagi hati yang harus dijaga perasaannya. Aku mulai menikmati kesendirian ku ini. Aku sudah sangat bahagia sekarang. Jadi diriku sendiri, seperti apapun yang aku inginkan. Aku menginginkan sesuatu, bisa langsung ku beli tanpa harus banyak berpikir, bertimbang rasa, menunggu rezeki sampai lama, atau meminta. Aku cukup dengan diriku sekarang. Aku mau melakukan apapun, bebas. Tidak perlu banyak prosedur, tidak perlu persetujuan siapapun, tinggal kerjakan saja, dan aku mendapat pengalaman yang ku cari. Mau makan apa saja, mau pakai baju apa saja, mau tidur dan bangun jam berapa saja.. bebaaaas.


Aku tahu ini tidak sepenuhnya baik. Tapi mungkin ini juga sikap dan pemikiran yang berupa pelarian dari rasa sepi. Aku tidak mau galau mikirin jodoh lagi. Jadilah aku puas-puasin diriku mumpuni masih sendiri. 


Orang melihat ku sejauh apa yang aku izinkan mereka lihat. Terima kasih banyak Ya Allah, sudah menutup aib-aib ku yang tidak terhingga. Terima kasih atas segalanya dalam hidupku yang kini Kau buat jadi seindah dan semenyenangkan ini. Terima kasih banyak untuk pengalaman pahit yang Kau ajarkan, supaya tidak akan ku ulangi lagi ke depannya. Terima kasih atas hati yang Kau jaga tetap baik-baik saja ini. Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbi Alaa diinik, tsabbit qolbi Alaa da'watik.