Orang-orang mengira aku ini semangat menuntut ilmu. Entahlah, semoga itu benar. Ya walaupun sebenarnya aku kuliah S1 lagi ini adalah akumulasi dari berbagai latar belakang.
Yang pertama, aku memang sudah sejak lama berkeinginan untuk lanjut S2 jurusan psikologi atau BK. Waktu skripsi dinyatakan lulus dengan nilai A, aku sudah menumbuhkan cita-cita itu sebagai puncak berikutnya yang akan ku taklukkan. Tapi apa daya, orang tua belum mengizinkan.
Sepertinya karena khawatir soal biaya. Adikku ada banyak, dan sudah waktunya gantian membiayai adikku yang lain. Padahal aku sudah bilang, aku tidak akan S2 kalau bukan dari beasiswa. Tapi sepertinya ortu masih belum yakin. Beliau berdua mengizinkan aku kuliah lagi kalau sudah bekerja besok. Kerja dulu, biar punya status katanya. Baru nanti bebas kalau mau Nyambi S2.
Ya sudah, aku kerja. Masuk keluar masuk keluar di awal-awal lulus. Ya, dua bulan setelah wisuda memang aku sudah berstatus karyawan. Meskipun aku belum betah karena tidak bisa berprestasi di sana. Aku tidak bisa menjalankan tugas dengan baik. Sudah kucoba melakukan berbagai trik yang ku tahu, tapi tidak satupun proposal ku berujung kesepakatan ada yang mau ngiklan di tempat kami.
Sambil siangnya bekerja, malamnya aku browsing-browsing hunting beasiswa. Nyiapin berkas, ngirim aplikasi, ngikutin setiap tahap seleksi. Tapi qadarullah belum lulus. Dua bulan bekerja di kantor pertama, aku resign. Pengunduran diri ku dengan cepat disetujui.
Lalu aku ikutan job fair, kirim lamaran kerja, ikut seleksi, Luntang Lantung bertahun-tahun, masuk satu, sebentar kemudian keluar lagi, sampai akhirnya di tahun ke 2,5 setelah kelulusan ku, aku diterima kerja di tempat yang sekarang. Tempat terbaik, dimana ku temukan banyak hal yang aku butuhkan.
Sambil segala proses ini, aku juga masih belum berhenti hunting beasiswa. Meskipun belum satupun yang sampai lulus di tahap seleksi terakhir.
Beberapa tahun kerja, yayasan kami menyiapkan pendirian Sekolah Tinggi dengan 2 jurusan: Bimbingan Konseling Pendidikan Islam, dan Pendidikan Islam Anak Usia Dini. Aku mulai menimbang-nimbang untuk mendaftar.
Alasan kedua, adalah karena saat STIT mulai dibuka pendaftaran nya, itu bertepatan dengan saat-saat tergalau ku. Galau soal jodoh. Segala ikhtiar terhebat telah kuupayakan. Sampai aku berpikir, daripada Ikhtiar tak berujung, membuat aku galau dan lama-kelamaan jadi tidak produktif, mbok mending energiku disalurkan buat mengupgrade diri. Meningkatkan kapasitas, menambah ilmu. Apa saja yang aku ingin tahu.
Saat itu memang sih aku juga sudah sering sekali ikutan kulwap, seminar, workshop, dsb. Di samping lihat-lihat konten YouTube yang isinya tentang kajian atau life hack atau ilmu-ilmu psikologi juga. Atau suplemen pranikah.
Tapi terus aku mikir, ini ada kesempatan kuliah S1 BKPI. Meskipun S1 lagi, tapi kan lumayan, ada gelar. Mungkin bisa berpengaruh sama karirku. Atau entahlah, biarlah, aku tidak terlalu menganggap ini penting. Tapi kesempatan kuliah murah, ada majelis ilmu yang akan ku ikuti secara rutin, berkurikulum, tahap demi tahap.. konsepnya akan ku pahami secara menyeluruh. Di jurusan yang selama ini kuidam-idamkan untuk S2. Waw.
Alasan ketiga adalah melarikan diri. Suatu hari, dini hari 17 Agustus, aku diminta pulang oleh ibuku karena akan ada yang datang. Laki-laki. Yang tidak jelas maunya apa. Tapi memang mengarah mau mengkhitbah. Cuman sayangnya, aku tidak suka sifatnya, akhlaknya, kebiasaannya, caranya menerapkan ajaran agama, pemikiran nya, gaya hidupnya. Dia sempat bilang, perempuan ngapain lah sekolah tinggi tinggi.
Wah, aku langsung ketrigger. Justru ku lakukan sebaliknya. Aku memutuskan daftar kuliah di sini tanpa banyak berpikir lagi. Aku punya pemikiran yang berseberangan dengan laki-laki itu. Perempuan harus cerdas, harus pintar, karena kami yang akan mendidik langsung anak-anak kami.
Aku tidak mau jadi Nyai yang diladeni semua orang, diajeni semua orang, sampai pada mbungkuk-mbungkuk, berebutan cium tangan, dan sebagainya, hanya karena status pernikahan. Sementara di sisi lain, anakku akan diposisikan orang orang bagaikan pangeran.. yang penuh dengan privilege.. dan akhirnya membuat dia sombong, tidak mandiri, dan seenaknya sendiri. Seperti laki-laki itu. No, jelas aku tidak mau.
Di tengah desakan orang tua dan adik-adik, juga keluarga besar.. supaya aku segera menikah. Tampaknya bagus jika aku sekarang menyibukkan diri dengan belajar.
Walaupun juga sedihnya aku seperti menjauh dari Ikhtiar itu. Aku tidak sesemangat dulu untuk menjemput jodoh. Bahkan kadangkala aku merasakan ada pikiran buruk muncul dari otakku: nikah itu ngga penting, malah merepotkan, menyusahkan, banyak tanggung jawab dan tambah banyak lagi hati yang harus dijaga perasaannya. Aku mulai menikmati kesendirian ku ini. Aku sudah sangat bahagia sekarang. Jadi diriku sendiri, seperti apapun yang aku inginkan. Aku menginginkan sesuatu, bisa langsung ku beli tanpa harus banyak berpikir, bertimbang rasa, menunggu rezeki sampai lama, atau meminta. Aku cukup dengan diriku sekarang. Aku mau melakukan apapun, bebas. Tidak perlu banyak prosedur, tidak perlu persetujuan siapapun, tinggal kerjakan saja, dan aku mendapat pengalaman yang ku cari. Mau makan apa saja, mau pakai baju apa saja, mau tidur dan bangun jam berapa saja.. bebaaaas.
Aku tahu ini tidak sepenuhnya baik. Tapi mungkin ini juga sikap dan pemikiran yang berupa pelarian dari rasa sepi. Aku tidak mau galau mikirin jodoh lagi. Jadilah aku puas-puasin diriku mumpuni masih sendiri.
Orang melihat ku sejauh apa yang aku izinkan mereka lihat. Terima kasih banyak Ya Allah, sudah menutup aib-aib ku yang tidak terhingga. Terima kasih atas segalanya dalam hidupku yang kini Kau buat jadi seindah dan semenyenangkan ini. Terima kasih banyak untuk pengalaman pahit yang Kau ajarkan, supaya tidak akan ku ulangi lagi ke depannya. Terima kasih atas hati yang Kau jaga tetap baik-baik saja ini. Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbi Alaa diinik, tsabbit qolbi Alaa da'watik.