Diakui sebagai perempuan. Aneh mungkin. Tapi itulah pertama kalinya aku mendengar potongan kalimat yang seindah itu. Membuat aku merasa diakui. Dan bahwa aku betul betul perempuan, di hadapan mereka, teman-teman baikmu.
Aku malah baru tahu, perempuan itu identik dengan tisu. Waktu itu hanya sebuah kebetulan, aku membawa sebungkus kecil tisu, ketika teman-teman perempuan kita yang lain tidak ada yang membawanya. Padahal biasanya aku juga jarang punya. Waktu itu paginya rantai motor ku lepas, pas di depan warung. Aku beli tisu ukuran saku buat mbersihin tangan yang kena gemuk.
Spontanitas yang bodoh Ku ucapkan waktu tisu kecil itu beredar di antara teman-teman mu : jangan dihabiskan ya..
Padahal sebenarnya aku hanya ingin punya benda kecil yang bisa menjadi pengikat kenangan untuk kita.
Tapi ternyata kisah kita bergulir tanpa akhir yang memuaskan. Lagipula, Tisu itu sudah habis, diambil temanku yang baru izin setelah memakainya. Aku tidak bisa apa-apa. Toh itu cuma tisu, sudah buluk pula. Kalau kau melihatnya, paling juga nggak akan ingat apa-apa.
Sekarang aku selalu punya tisu di kamar asrama ku. Meski kadang tidak kubawa saat bepergian. Bukan lagi karena ucapan penghargaan mu kala itu, (bahwa "wedok tenan" nek nggowo tisu kie), tapi karena ternyata aku memang sering membutuhkan benda itu. Dan lagi, sekarang aku punya uang sendiri yang leluasa untuk kubelikan tisu sekadarnya. Dulu mana kepikiran beli tisu? Barang mahal tak berguna, bagiku dulu. Ya, Mungkin sekarang aku banyak berbeda, menyesuaikan diri dengan hidup yang sekarang.
Aku tidak ingin bermewah-mewah. Cukup apa yang diperlukan, diadakan. namun jangan sampai kekurangan hingga merepotkan orang lain. Dan prioritas belanja ku, tentu beda dengan teman-teman ku.
Aku sudah mulai belajar punya harga diri. Bahwa aku bukan manusia papa yang harus selalu dikasihani orang lain. Kita hidup bersama, bersosialisasi, tapi bukan untuk saling mengasihani.
Ya, aku rindu. Gara gara teringat sepotong tisu. Gara gara apa saja bisa. Tapi tidak lagi seperti dulu. Biasa saja.