Who Amung Us

Rabu, 02 November 2016

Film Sudirman

Film apa yang terakhir aku tonton? Sudirman. Udah lama, sih, jarang nonton emang.
Kenapa aku menontonnya? Penasaran tentu saja. Jenderal Sudirman adalah salah satu tokoh idolaku. Aku ingin tahu cerita lebih lengkap dari sudut pandang yang berbeda.
Masih ingat soundtracknya? Sedikit. "Tentaraa jiwa Sudirman, ..., Dalam sakiit tetap berjuang!"
Adegan paling menarik? Waktu rombongan tentara Sudirman pergokan sama tentara Indonesia di hutan, saling curiga, sampai akhirnya sekedup dibuka dan ternyata berisi Jenderal mereka. Adegan setelah itu paling indah :)
Hikmah paling berkesan? Kelihaian. Saat terdesak gara-gara pengkhianatan, dengan segera para tentara yang tengah berlindung di rumah warga itu akting seperti sedang yasinan. Dan ketegasan, betapa si pengkhianat langsung di-dor di tempat. Ahai!
Apa yang paling aku sukai dari film itu? Radionya. Tuh, sekelas Jenderal aja dalam situasi revolusi fisik ternyata sedemikian memperhatikan radio. Sebab justru radiolah salah satu senjata terkuatnya, pemersatu semangat bangsa.

Kepingiiin sekali cerita sama anak-anak. Buat Mbak Rara yang hebat, Mas Rizki yang tahu diri, Mas Rafa yang penyayang binatang, Mas Rafi yang penurut, Mas Radin yang diam-diam cerdas, Mas Kevin yang disiplin, Mbak Michelle yang hormat kepada guru, Mbak Lita yang penyayang, Mbak Greya yang gigih, Mas Faiz yang disiplin dan tangguh, Mas Aldi yang kuat, Mas Hafiz yang peduli, Mbak Hanifah yang jujur, Mbak Inas yang terampil, Mbak Azka yang kreatif, Mas Mandala yang bertanggung jawab, Mas Irfan yang pintar, Mas Sahid yang setia, dan Mbak Milena yang selalu lebih baik... aduh masih kurang satu lagi aku lupa namanya Mbak siapa yang suka pakai kerudung pink senyumnya lebar. Ah, iya... "Mbak April," kata Mbak Rara. Mbak April yang bertanggung jawab.

Maaf Us Ridho tidak bisa lama mendampingi proses belajar kalian. Namun percayalah, kalian akan terus bertemu dengan guru-guru terbaik di sepanjang hidup kalian. Semoga sehat selalu. Selamat tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak sholih yang perannya dinanti untuk kebaikan negeri ini.

Us Rara, titip salam buat anak-anak.. Tolong sampaikan ya Us, aku belum sempat bilang kalau cacing itu bisa cari makan sendiri, gak perlu repot-repot dicarikan daun yang coklat dan sudah empuk buat mereka makan :) itu namanya humus, aku juga lupa bilang :)

Kamis, 13 Oktober 2016

Masa Kecilku

Aku menghabiskan sebagian besar masa kanak-kanakku di Tim-tim, provinsi termuda di Indonesia saat itu.

Bapak dan ibuku menikah saat bapakku belum lulus, masih dalam proses menyelesaikan TA-nya. Dulunya mereka adalah sahabat pena. Tiba-tiba saja bapakku punya ide untuk menikah dengan alasan  ada banyak kecocokan. Baru beberapa bulan nikahnya, eh, ibu hamil. Sepertinya benar bahwa menikah adalah salah satu motivasi besar yang bisa mengubah orang. Bapak dengan segera lulus dan wisuda. Dalam proses itu sampai beberapa waktu setelah lulus, bapak kerja serabutan.

Yang paling berkesan yang pernah kudengar adalah, saat pagi bapak berdandan rapi dengan kemeja yang licin tersetrika, lalu pergi. Sampai di tempat kerja, bapak berganti penampakan dengan seragam lapangan: kaos kumal dan celana pendek. Nyetak bata! Saat petang menjelang, bapak bersiap pulang dengan bertukar baju yang rapi dan seragamnya dicuci di tempat. Sampai rumah lagi, tidak ada yang tahu pekerjaan bapak sebenarnya, hingga beberapa waktu.

Beruntung, kemudian ada info lowongan PNS untuk penempatan Tim-tim, cocok dengan kualifikasi yang bapak punya. Meski jauh, bapak ambil. Kami ditinggal beberapa bulan di Jawa sementara bapak menyiapkan fasilitas untuk hidup di sana.

Di sisi lain, selama aku dalam kandungan, ibu menyiapkan banyak hal untukku. Popok dan macam-macam perlengkapan bayi dijahit ibu sendiri. Terampil sekali ibuku dalam urusan itu. Masalah penghematan, memang nomor satu! =)

Tapi menurutku, selain lebih irit, ada juga faktor kepuasan di sana. (Soalnya aku juga cenderung untuk begitu, amat puas bila apa-apa kukerjakan sendiri.) Ah, beruntung sekali aku jadi anak pertama. Barang-barang untukku semua serba baru, hehehe.

Yah, singkat cerita, belum genap satu tahun umurku, kami boyongan ke Tim-tim.

Tak banyak yang kuingat saat itu. Hanya saja aku tahu, jalanan di sana sangat buruk. Mungkin pemerataan pembangunan memang bukan urusan gampang. Soal air: kami hidup di daerah gersang dan panas, diapit pantai dan hutan pegunungan. Cari air, bapak harus bawa jerigen buesar, jalan buerkilo-kilo ke arah gunung. Aku pernah ikut, digendong bapak di pundak.. ingatnya karena ada fotonya, hehe.


Tempat favorit  untuk main adalah di halaman depan rumah. Ada banyak tanaman, tapi yang masih kuingat cuma beberapa: pohon trembesi, gambas, kaktus, lidah mertua, *trus perdu hias yang bergetah, batang zigzag daun warna putih hijau, nanamnya distek (patah tulang apa ya?). Satu lagi yang rada eksotis: pohon KOM. Tingginya enak untuk dipanjat-panjat. Ranting-ranting berduri. Buahnya hijau seukuran kelereng, kalau masak warnanya menguning. Rasanya asam, bijinya besar, entah kenapa anak-anak sana sangat suka makan kom (dan juga ketapang. Menurutku itu tuidak uenak!). Di dalam rumah, tepat di tengah dapur, ada pohon juga yang hidup, tidak ditebang, dibiarkan menjulang menerobos atap. Aku lupa pohonnya apa. Di sana ada lebahnya. Aku ingat kami pernah panen madu di situ. Aku paling suka ngemil sarangnya, hehehe.

Depan rumah tempat favorit pertama, sekaligus tempat tragis terjadinya pengempesan BOLA BASKET ASLI BARU KAMI gara-gara terlempar dan kena duri kaktus. Hikz.

Tempat favorit kedua yaitu pantai. Dari belakang rumah ke selatan, melewati beberapa rumah tetangga, hutan kom (yang banyak sapi timor cokelat tanpa gelambir merumputnya), lalu lapangan bandara kecil, dan masuklah ke kawasan luar pantai. Banyak tanaman kasar, diantaranya bulu babi. Lalu di pantainya sendiri, asyik sekali. Pasirnya abu-abu. (Aku sempat bingung waktu pertama kali lihat pantai di Jogja, pasirnya kok krem, hehehe). Aku suka bikin rumah-rumahan/istana pasir, cari keong/cangkang kerang/karang kecil, juga berenang. Pelampungnya pakai jerigen Bim*li kosong yang ditutup rapat. Pernah juga ikut naik perahu nelayan sampai tengah laut. Warna airnya bagus sekali. Biru bersih kehijau-hijauan. Ada banyak yang melayang-layang di bawah perahu. Cantik. Eksotik. Sampai sekarang, aku masih suka bermimpi mengulang kenangan itu.

Rumah-rumahan tanah/pasir pernah jadi mainan yang paling ngetren dalam hidupku. (Lucunya, sekarang setelah dewasa, saat kucoba-coba gambar denah rumah impian, lamaaa sekali waktu yang kuhabiskan. Tidak seperti waktu main dulu, spontan dan jadinya bagus-bagus_menurutku_). Kalau sudah jadi rumahnya, biasanya permainan dilanjutkan dengan orang-orangan. Pakai orang-orangan kertas, yang sudah dicutting tinggal dirangkai, dijual seratusan (waktu itu), yang bajunya bisa diganti-ganti itu. Sampai sekarang mainan jenis ini masih banyak, di SD-SD di Jawa juga.

Tempat selanjutnya yang berkesan adalah Taman Bingung. Ada banyak patung dan tempat duduk dari beton, juga bunga-bunga flamboyan. Kalau dipikir-pikir, apa asyiknya ya tempat itu.? Entah, aku benar-benar tidak ingat. Hanya namanya yang masih terpatri lekat di memori.

Selain itu paling-paling aku main di pohon karsen mbak Lisa, tetangga belakang rumah, masih satu kompleks. Aku kecil suka main tanah-tanahan dan panjat-panjat pohon..ya walaupun kadang-kadang dimarahi ibu kalau main tanah dan gak pernah boleh naik ke pohon asam dekat sekolah. Paling mentok ya cuma karsen mbak Lisa itu. (Aku masih ingat kakaknya mbak Lisa -aku lupa namanya- pernah keramas pakai santan. Rambut keritingnya jadi luembut. Kondisioner alami tuh, mungkin kapan-kapan patut dicoba).

TK-ku agak jauh, di kota. Harus diantar. Biasanya naik sepeda, duduk di boncengan besi di belakang yang dibalut pakai bantal kecil supaya empuk. (Setelah punya adik, terkadang aku di dalangan depan, adik yang di belakang. Kakinya diikat biar tidak celaka masuk ruji.). Seragamnya kuning kombinasi putih. Selalu bawa kotak bekal (satu paket botol minum dan kotak makan, bentuknya gimana ya, kayak rumah beratap lengkung gitu lah), biasanya ada tajin manis-gurih, jeruk, dan telur rebus setengah matang. Telur ayam kami sendiri, yang tinggal ambil dari kandang di halaman atau di sekitar pohon kom. =) Menu selainnya aku tidak ingat.

Di sana dapetin ikan segar itu gampang, murah-murah pula. Aku suka hanya kalau digoreng thok sampai garing. Herannya setelah di Jawa, sussaah sekali untuk suka ikan lagi. Oya, ngomong-ngomong tentang ikan, di bak mandi rumah selalu ada ikan, biar gak banyak nyamuk dan bisa dimakan kapan-kapan. Ikannya ganti-ganti, pernah lele, mujair, sepat, juga ikan mas.

Rumah kami menghadap utara, persis di sudut tikungan jalan besar. Dindingnya tripleks, sebagian batako. Lantai semen mengkilat karena biasa dipel pakai ampas kelapa. (Kelapa disana murah banget, nggak kayak wortel yang kata ibu muahalnya koyok inten). Aku tidak ingat apa aku pernah punya kamar sendiri di sana.

SD-ku dekat. Cukup jalan kaki ke timur beberapa ratus meter.

Aku pernah sekolah di Jepara 2 cawu. Persoalannya operasi amandel. Bisanya cuma di Kudus. Maka sekolahku dipindah sementara ke daerah mbah To. Pasca operasi, oh alangkah bahagianya hidupku, akhirnya boleh makan es krim! (Langsung lah daku ini balas dendam seumur hidup yang selalu pantang es-esan--dan chiki-chiki--) .Bahkan es thung-thung yang lewat di depan rumah mbah juga dibolehkan! Hwahha! Sejak itu, badanku mulai subur, tidak lagi kurus kering ngelolet yang bikin stres ibu. Mulai stop dokter-dokteran dan rumahsakit-rumahsakitan juga.

Sayang, saat itulah di Tim-tim mulai ada huru-hara. Besi merah putih. Fretelin. Brimob. Anjing peliharaan orang sekampung, si Bruno, mati tertembak. Mengenaskan, darahnya berceceran di sepanjang jalan menuju sekolah, semua anak yang lewat lihat. Rumah Edvan dan rumah om Tumon rata tanah, dibakar. Jendela-jendela nako di rumahku pecah semua, habis dilempari batu. Orang-orang mulai pada eksodus. Barang-barang dijual murah-murah, atau dipak, dikirim via pos ke pulau asal masing-masing kalau memungkinkan.

Versiku, ceritanya begini. Tim-tim yang bekas jajahan Portugis, memang sudah jadi bagian dari Indonesia. Tapi banyak dari orang pribumi itu yang terlanjur tinggal, beranak-pinak, dan besar di Portugal. Mereka itu pada mudik ke Tim-tim, lalu protes, maunya punya negara sendiri. Sebenarnya, banyak orang Tim-tim yang nyaman dalam belaian Indonesia.  Bayangkan saja, tanah yang gersang dibangun, disuplai segala sumber daya, diberi pendidikan, kesehatan, PERADABAN. Tapi saat referendum itu akhirnya digulirkan, kenyataan berbicara lain. Hasil jajak pendapat: lebih banyak pribumi yang menghendaki Tim-tim berdiri sendiri.

Aku pribadi sih yakinnya mereka yang minta lepas itu pribumi bentukan Portugal ditambah pribumi asli yang berhasil dihasut--bahkan bukan mustahil pakai diancam pula.

(Waktu SMP di Ceper, aku ingat pernah ada bapak-bapak/mas-mas [waktu itu payah deh aku, bener2 gabisa nebak umur orang! Dan timbal baliknya, aku yang masih ABG itu seringkali dipanggil 'ibu' sama karyawan toko. Hngh! Banyangpun, anak ABG disangka ibu-ibu. Kebangetah gak?!] jualan es degan uenak muantep murrah di pinggir jalan sawah yang sepi dan hanya dilewati anak-anak sekolah dan paling banter para petani. Ciri-ciri fisiknya seperti orang Timor. Sejak pertama lihat, aku sudah pingin bertanya. Sesalku, sampai sekarang aku belum berani dan tidak sempat tanya lagi. Orangnya sudah nggak jualan di sana... Padahal kelapa mudanya asli enak bener! #Ketagihan)

Jadilah sayonara Tim-tim (untuk selanjutnya disebut Timor Leste). Kami orang Indonesia harus eksodus. Pulau asli keluarga kami Jawa, maka pulanglah kami ke sana.

Bapak-ibu repot sekali. Adik keduaku belum genap setahun umurnya, harus pula diboyong nyebrang samudera. Aku bertanggung jawab atas tas plastik merah, termos (aku lupa warnanya biru atau pink! #hualah gak phentink!), dan adik balitaku. Pelabuhan banjir orang. Kabin penuh, bahkan geladak, tangga, dan semua spot yang ada, terpakai manusia. Tapi Puji Tuhan, melintasi gilimanuk, sampai juga kami di tanah Jawa. Bahkan sempat lho kami mewujudkan mimpi ibu naik kereta api! Hehehe. Tersisa satu mimpiku kini: naik pesawat terbang. Coba, mabuk udara gak ya? Hehheheheghe.

Selamat tinggal Tim-tim-ku yang eksotis. Gak ada lagi acara main-main ke 'rumah parabola' di gunung. Pengalaman lainnya yang masih membekas bagiku ada beberapa.

Ke Atambua makan jambu monyet, bibir mlonyoh.

Ke Dili atau Kupang naik angkutan dan bis berganti-ganti, mabuk darat.

Ke Kefa (Kefamenanu) dibelikan baju, juga ketemu tante-tante baik hati.

Makanan tambahan sekolah: JAGUNG BOSE, uah gak enak!  Jagung direbus sampai empuk, dibubuhi daun-daunan hutan. Lanjut direbus sampai mlotrok. PALING MENTOK DIBUMBU GARAM, ATAU TIDAK SAMA SEKALI.

Tais. Kain tenun tradisional, mahal, bagus. Dibuat oleh pribumi yang canggih. Eh tapi mbak Lisa dan kakaknya, Mbak Ningsih, pernah belajar bikin itu. Aku pernah juga main-mainin alat tenunnya, terus kena marah. Di rumah yang sekarang, beberapa sampel tais masih tersimpan baik. Aku pernah punya satu selendang tais milikku sendiri, hadiah ulang tahun kalau tidak salah. Aku tidak terlalu suka waktu itu, tapi sekarang, kurasa itu salah satu hartaku yang sangat mahal. Made in asli luar negri jeh. Hihihi.

Ke gunung pas ibu ngidam zeboak (di Jawa namanya siwalan), main-main masuk rumah tradisional orang Timor. Penampakannya persis gundukan jerami. Indah, eksotis dari luar, meski sederhana. Tapi pengap nauzubillah, pintu masuk cuma satu, muatnya kalau merangkak. Tanpa jendela.

Main lempar-lempar kelereng di dalam ruang tamu, sampai lampu neon terbaik kami pecah, tangan kanan berdarah. Aku lari dengan maksud sembunyi, malah langsung kepergok ibu begitu saja. Kena marah habis-habisan. Bekas lukanya jadi keloid kecil memanjang, sampai sekarang tidak pernah hilang.

Main petak umpet, sembunyi di balik motor panas, kena knalpot, betis melepuh. Diobati pakai sulfanilamid acid yang super perih. (Sebenarnya dah kapok sama knalpot, tapi hebatnya aku, diulang lagi saat dewasa, bahkan tepat di hari wisuda! Kaki kiri kanan dah pernah dicium knalpot semua.)

Gak sengaja makan daun karsen, mulut nyonyor, dapat albothyl, wah, dahsyat rasanya.

Kaki kiri digigit anjing waktu bersepeda pulang dari membelikan permen adik di warung Bu Ratman, kompleks sebelah. Lima lubang. Disuntik, diperban, pake bolak-balik ke rumah sakit.

Adik pertamaku pernah memprovokasi teman-temannya sekompleks untuk menghilang bareng. Seisi kampung geger, panik. Akhir cerita, mereka semua ditemukan sedang di pantai, kompak sembunyi di perahu-perahu, rata-rata dalam keadaan nyaris telanjang. Anak-anak hebat!

Beberapa kali naik kapal untuk mudik-balik lebaran, yang paling kuingat Dobonsolo dan Kelimutu, mabuk laut. Daan..lain sebagainya. Mulai lelah dan ngantuk nulis dan cerita.

Yah, demikianlah kisah indah masa kecilku di sudut lain bumi ini. Semua orang punya kisah kan.. Bagaimana denganmu, wahai Pengikut rahasia nan setia blog-ku?


--Meja Kerja Rumah Mbah, 12 Juli 2015, dini hari--