Who Amung Us

Rabu, 25 Februari 2015

Njendhel

Tiba-tiba aku  tersadar bahwa aku tengah mengenangnya, sembari menghayati rasa beku di ujung hidungku. Tepat setelah mewariskan sepotong topimalingggakpenting dari lemari yang akan segera kutinggalkan  itu ke tangan Mama yag rupanya amat menyukainya. Benda itu cocok sekali di hidungnya, bukan di hidungku. Omong-omong, aku jadi kepingin menempelkan potongan koyo di sana, seperti waktu itu. Walau keperluannya berbeda.
Aku Njendhel. Nama itu kudapat 9 tahun yang lalu dalam petualangan empat hari berhujan-hujan tanpa lepas alas kaki. Aku masih ingat betul betapa setelah itu kakiku jadi seperti tahu.
Njendhel. Oh, aku tak peduli lagi filosofi apa di balik kata itu. Sebagaimana aku tak peduli lagi dengan  hilangnya sehelai foto dari puncak masa remaja Njendhel yang berkerudung mungil wara biru, kaus kuning terang, dan celana tentara, berdiri di samping rumpun edelweis dengan latar Merapi. Tak perlu kusangkal, aku memang pernah di sana. Tapi itu dulu.
Sekarang, aku masih suka pada awan, pepohonan, langit beserta bintang-bintang.. bahkan tanah dan debu yang berbeda-beda di setiap petaknya. Aku masih senang menatap gunung dari kejauhan,  burung-burung terbang, belalang yang berlompatan. Pun, sesebal apapun aku pada Pus Putih yang hobi membangunkan orang dengan menggigit  hidung, aku masih tak rela kalau ia harus dibuang. Aku masih suka berbasah-basah dalam hujan, meski tidak pernah lagi di tengah rimbun dedaun hutan. Singkat kata, aku masih sayang pada alam.
Akan tetapi kawan, ada yang  sudah berubah padaku sekarang, yang menjadikan Njendhel hanyalah sepotong episode masa lalu. Aku kini berusaha tak lai bermimpi untuk sampai di titik tertinggi Indonesia, apatah lagi Atap Dunia. Barlah itu dilakukan manusia lain yang lebih bersumber daya. Njendhel yang itu kurasa tak lagi mampu. Seorang instruktur terbaik dari negeri pualam pun  mungkin tidak bisa melatihnya dalam kondisi saat ini. Nyaliku tiada lagi, mimpi itu hanya datang dalam bentuk lelapnya tidur terliar.
Njendhel sudah hilang ditelan waktu bersama sehelai  fotonya, entah dimana. Yang tersisa dari seorang Njendhel hanya PDL hitam di lemarinya yang paling dalam dan seorang asing entah siapa  di ambang usia dewasa yang tampaknya belum hendak tiba. Foto Njendhel, diambil oleh Destia si anak aksel pecinta anime--hilang entah sejak kapan. Dan belum jua kutemukan siapa diriku yang sekarang, yang pasti dia bukan lagi Njendhel.


230215 23.50